Tak seperti “Batu Menangis”
Gadis itu berjalan memukau setiap pasang mata yang
melihatnya
namun tidak dengan wanita yang berjalan dibelakangnya,
mengundang
tanya sebab terlalu berbeda
“Bukan, dia adalah pembantuku. Bukan ibuku” jawab
gadis itu
Sang ibu menahan nanar di pelupuk matanya, mengelus
dadanya
Begitulah sedikit petikan cerita
rakyat dari pulau Kalimantan yang melegenda di tanah air. Batu menangis, sebuah
analogi tentang minimnya budi kepada orang tua. Pada akhirnya melahirkan murka
Sang Kuasa untuk mengubah gadis cantik jelita menjadi batu yang konon katanya
kerap meneteskan air mata. Cerita rakyat itu mungkin dianggap dongeng yang tak
teruji kebenarannya. Namun bukankah “perlakuan sang anak berparas ayu dari
cerita tersebut” masih ramai dijumpai di zaman milenial hari ini?
Kita merenungi kembali betapa kita lahir ke dunia ini dalam keadaan lemah, mata, tanpa pakaian, tak bisa bicara, hanya tangisan yang tak jarang memekakkan telinga. Kita pun lahir dari kepingan-kepingan keringat dan pengorbanan, yang atas izin-Nya bapak berjuang memberi nutrisi terbaik kepada calon ibu, dan ibu menjadi tabah membawa bobot badan yang bertambah jadi dua. Semuanya akan terasa sulit jika bukan karena cinta, betapa kita diharapkan tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang mencintai Tuhannya, syariat agama, bangsa, dan negaranya.
credit to here
Kita merenungi kembali betapa kita lahir ke dunia ini dalam keadaan lemah, mata, tanpa pakaian, tak bisa bicara, hanya tangisan yang tak jarang memekakkan telinga. Kita pun lahir dari kepingan-kepingan keringat dan pengorbanan, yang atas izin-Nya bapak berjuang memberi nutrisi terbaik kepada calon ibu, dan ibu menjadi tabah membawa bobot badan yang bertambah jadi dua. Semuanya akan terasa sulit jika bukan karena cinta, betapa kita diharapkan tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang mencintai Tuhannya, syariat agama, bangsa, dan negaranya.
Ketika kedua kaki sudah bisa
berlari, mulut sudah pandai merangkai kalimat, dan akal perlahan bisa
digunakan, maka semua fungsi organ tersebut tanpa sadar kadang menyakiti hati
mereka yang pernah berjuang membesarkan kita. Pada dasarnya mereka tak pernah
menuntut balasan berupa materi, namun mengharapkan kita tumbuh dengan budi
pekerti yang baik dan tidak pernah menyakiti hati orang lain.
Apabila kesedihan yang kita alami
begitu besar durasinya, bisa jadi ada hak keduanya yang belum kita tunaikan. Bakti
kedua orang tua dalam Islam memiliki porsi yang besar setelah taat kepada Allah
maka cukuplah dalil tersebut menguatkan kita untuk berlomba-lomba terus
berbenah menjadi anak yang sholeh atau sholehah yang doanya insyaalllah makbul
untuk kedua orang tuanya dan disayang Allah, agar tak hidup menyedihkan dan
penuh penyesalan seperti “batu menangis”
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
-tantangan ODOP ke 4
4 komentar
Mantap sekali Kakak #semangat
BalasHapusKeren kakak
BalasHapusBagus kak
BalasHapusBanyak kisah yang menggambarkan kedurhakaan anak kepada ibu. Semoga kita selalu bisa mengambil hikmahnya!
BalasHapus