Hitung-hitung
Pagi ini Bogor terlihat sangat
cerah. Tapi engga dengan diriku. Perutku sudah berbunyi-bunyi tidak jelas.
Bagai memberi tanda bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Bukan kelaparan, bukan
karena tamu bulanan yang akan datang. Ahh, aku rasa engkau pasti tahu
jawabannya.
Langkah kakiku pelan-pelan menembus
hiruk pikuk pagi yang mulai ramai. Tak jauh dari pandanganku, sekumpulan pengemudi
ojek online pun telah berseragam
rapi, diam memandangi gawai berharap satu demi satu order-an bermunculan. Pagi ini ku memutuskan untuk tidak masuk laboratorium
sebab perut yang tidak bersahabat. Meski demikian aku memaksakan diri menuju
bank yang berada tepat di depan kosanku. Apa lagi kalau bukan karena kartu
debit yang terblokir. Pukul 07.49 aku sudah berdiri mematung di depan pintu
masuk bank. Berjibaku dengan belasan orang yang juga berharap mendapat antrian customer service yang paling awal.
Bersyukur urusan kartu terblokir berhasil terselesaikan dalam waktu yang cepat.
takern from here
Mungkin langkah kaki agak berat
dibanding biasanya. Sepatuku tertinggal di kos lama, alhasil hari ini memberanikan
diri memakai sepatu wedges. Alih-alih
meratapi sepatu tinggi, ku paksakan saja kakiku menuju lab untuk memboyong
pulang jas lab yang sudah saatnya bermandikan busa karena saking lusuhnya. Yes,
hanya singgah sebentar di kampus. Lalu ku beralih menuju toko yang menjajakan
kipas angin bekas layak pakai. Jaraknya lumayan jauh, apalagi jika dibersamai
sepatu ini dan perut yang terus-terus mengeluarkan bunyi cairan encer hemmm...
Sayang sungguh sayang tokonya tutup
padahal waktu sudah menunjukkan pukul hampir 09.30. “Sesuatu yang tidak biasanya terjadi. Biasanya sudah buka neng” kata
bapak pemilik toko kelontong menjawab tanyaku. Fisik yang sudah tidak mampu
menunggu lebih lama membuatku memilih pulang tanpa memboyong kipas angin impian.
Apa daya hari ini kulalui lebih
singkat dari biasanya diluar kos. Selebihnya ku habiskan hanya untuk tidur saja
karena fisik yang lemah. Jika ku hitung-hitung maka cukup rempong juga hari
ini. Tapi kalau direnungi rasanya hal yang patut disyukuri masih jauh lebih
banyak. Allah menahan perutku untuk tidak berkontraksi yang tidak-tidak selama
mengurusi beberapa hal diluar kos, aku
mendapat antrian 1 di customer
service bank yang biasanya mencapai angka 30an yang menunggu untuk dilayani
hingga adzan ashar menjelang. Keduanya
adalah contoh kecil dari nikmat yang aku syukuri hari ini. Hitung-hitungan ku
sebagai manusia biasa tak ada apa-apanya. Pada akhirnya kita menyadari bahwa
tidaklah semua kejadian yang menyedihkan itu terjadi, melainkan bersamaan
dengan suatu nikmat yang juga sama-sama besar (bahkan bisa lebih besar) untuk
kita syukuri. Semoga keluhan demi keluhan
hanya tertahan dihati untuk perlahan kita tepis, tidak untuk diucapkan yang
membuat kita lagi-lagi lupa atau sulit merenungi nikmat yang perlu untuk
disyukuri. Sabar. Bersyukur dulu, nanti Allah tambah.
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
5 komentar
Semangat kak
BalasHapusbersyukur :) mantap kak tulisannya, semangaaat :)
BalasHapusKereenn kak..
BalasHapusPantang mengeluh dan selalu bersyukur, yes!
BalasHapusOh... Ya kak sedikit perbaikan
Engga=tidak
Ku memutuskan=Aku memutuskan atau kuputuskan
Antrian=antrean
Adzan=azan
30an=30-an
1= pertama
Kos=kost
Paragraf terakhir kepanjangan
Tetap semangat!
Mantap mba lanjutkan:')
BalasHapus