Ibrah: Orang-orang Pergi. Apakah Mereka Kembali?

by - 11:40 AM

Bismillah.
Kepergian itu sulit. Tapi, kehilangan lebih sulit lagi. Mengapa orang-orang harus saling meninggalkan? Jawabannya membawa saya ke sejumlah kesadaran dan perjuangan yang terdalam. Pertanyaan itu juga membuat saya bertanya-tanya: setelah orang-orang pergi, apakah mereka akan kembali? Setelah sesuatu yang kita cintai direnggut dari kita, apakah itu akan kembali? Apakah kehilangan itu bersifat permanen-atau sekedar sarana untuk tujuan yang lebih tinggi? Apakah kehilangan adalah Akhir itu sendiri-ataukah kesembuhan sementara untuk penyakit hati kita?
Ada sesuatu yang menakjubkan tentang kehidupan ini. Atribut duniawi yang sama yang menyebabkan kita terluka juga memberi kita kelegaan: tak ada yang abadi. Apa artinya itu? Artinya, mawar indah dalam jambangan akan layu besok. Itu berarti kemudaan akan meninggalkan diri kita. Itu juga berarti kesedihan yang kita rasakan hari ini akan berubah esok hari. Penderitaan kita akan lenyap. Tawa takkan bertahan selamanya-tapi begitu pula dengan air mata. Kita berkata bahwa hidup ini tidak sempurna. Hidup memang tidak sempurna. Hidup tidak sepenuhnya baik, tetapi juga tidak sepenuhnya buruk.
Allah berfirman dalam ayatnya yang sangat mendalam “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Al-Insyirah [94]:5). Saya pikir saya tumbuh besar dengan keliru memaknai ayat ini. Awalnya saya pikir artinya adalah: setelah kesulitan akan datang kemudahan. Dengan kata lain, tadinya saya pikir kehidupan terdiri atas masa-masa baik dan masa-masa buruk. Setelah masa-masa buruk, akan datang masa-masa baik. Saya berpikir seperti ini seolah-olah entah hidup sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk. Tapi bukan itu yang dikatakan ayat tersebut. Ayatnya berkata bahwa bersama setiap kesulitan ada kemudahan. Kemudahan hadir bersama kesulitan. Berarti tidak ada apa pun di dunia ini yang sepenuhnya baik (atau buruk). Dalam setiap situasi yang kita hadapi,  senantiasa ada sesuatu yang patut kita syukuri. Bersama setiap kesulitan, Allah memberi kita kekuatan dan kesabaran untuk menanggungnya.
Jika mengkaji masa-masa sulit dalam hidup kita, kita akan melihat bahwa masa-masa itu diisi denga banyak kebaikan. Pertanyaannya adalah: mana yang akan kita pilih untuk kita fokuskan? Saya rasa kita telah terjerumus ke dalam perangkap yang berakar dari keyakinan keliru bahwa hidup bisa jadi sempurna-sempurna baiknya atau sempurna buruknya. Meskipun itu bukan sifat dari dunia (kehidupan ini). Itu adalah sifat dari akhirat. Di akhirat bisa dicapai berbagai tingkat kesempurnaan. Jannah (surga) itu sempurna baiknya. Tak ada keburukan di dalamnya. Dan jahannam (neraka-semoga Allah melindungi kita) itu sempurna buruknya. Tak ada kebaikan di dalamnya.
Dengan tidak sepenuhnya memahami realitas ini, saya sendiri akan dikuasai oleh keadaan fana kehidupan saya (entah itu baik atau buruk). Saya mengalami setiap situasi dalam intensitasnya yang penuh-----seolah-olah itu adalah akhir atau justru takkan pernah berakhir. Apa yang saya rasakan pada saat itu mengubah seluruh dunia dan segala isinya. Jika saya merasa senang pada saat itu, masa lalu maupun masa kini, dekat dan jauh, seluruh semesta akan terasa baik pula pada saat itu. Seolah-olah kesempurnaan bisa diraih disini. Hal yang sama pun berlaku pada hal yang buruk. Kondisi negatif menguasai segalanya. Rasanya seluruh dunia, masa lalu dan masa kini, seluruh semesta akan terasa buruk pada saat itu. Karena hal itu menjadi seluruh semesta saya, saya tidak bisa melihat apapun yang ada diluarnya. Tak ada apa pun yang eksis pada saat itu. Bila anda memperlakukan saya dengan buruk pada hari ini, itu karena Anda tidak lagi peduli kepada saya---bukan karena ini adalah salah satu dari momen tak terhingga banyaknya yang kebetulan terwarnai seperti itu, atau bukan karena Anda dan saya dan kehidupan ini tidaklah sempurna. Apa yang saya alami atau saya rasakan pada saat itu menggantikan konteks, karena itu menggantikan seluruh visi saya tentang dunia.  
Menurut saya, sehubungan dengan pembawaan yang eksperiensif, sebagian dari kita mungkin sangat rentan dengan hal itu. itulah sebabnya kita menjadi mangsa dari fenomena “Aku belum pernah melihat sedikit pun kebaikan darimu”. Sebagaimana yang dirujuk oleh Rasulullah dalam hadistnya. Mungkin sebagian dari kita berkata atau merasa seperti ini karena pada saat itu kita memang benar-benar tidak melihat kebaikan karena perasaan kita pada detik itu menggantikan, menentukan, dan menjadi segalanya. Masa lalu dan masa kini tergulung menjadi satu dalam momen eksperiensif tersebut.
Namun, kesadaran sejati bahwa tidak ada yang utuh dalam kehidupan ini mengubah pengalaman kita soal itu. Sekonyong-konyong, kita tidak lagi dikuasai oleh momen tersebut. Dengan memahami bahwa tak ada yang tidak terbatas disini, bahwa tidak ada sesuatu pun disini yang bersifat kamil (sempurna, lengkap), Allah memungkinkan kita untuk melangkah keluar dari momen dan melihat mereka sebagaimana apa adanya; bukan semesta, bukan realitas, masa lalu dan masa kini, hanya suatu momen---satu momen tunggal dari serangkaian momen tak terhingga yang juga akan segera berlalu.
Ketika saya menangis, kehilangan, atau terluka, selama saya masih hidup, tak ada yang namanya penghabisan. Selama masih ada hari esok, masih ada momen selanjutnya, senantiasa ada harapan, ada perubahan, dan ada penebusan. Apa yang telah hilang takkan hilang selamanya.
sourch of pict
Jika, dalam menjawab pertanyaan apakah yang hilang akan kembali, saya mempelajari  contoh paling indah. Apakah Yusuf kembali kepada ayahnya? Apakah Musa kembali kepada ibunya? Apakah Hajar kembali kepada Ibrahim? Apakah kesehatan, kekayaan, dan anak-anak kembali kepada Ayub? Dari cerita ini kita mendapatkan pembelajaran yang  kuat dan indah: apa yang diambil oleh Allah tidak akan pernah hilang. Bahkan, hanya yang ada di sisi Allah yang tersisa. Segala hal lainnya lenyap. Allah berfirman: “Apa yang disisimu akan lenyap, dan apa yang ada disisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl [16]:96).
Semua yang ada disisi Allah, tidak pernah hilang. Bahkan Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik bagimu” (HR. Ahmad). Bukankah Allah mengambil suami Ummu Salamah hanya untuk menggantikannya dengan Rasulullah?
Terkadang Allah mengambil agar dapat menganugerahi. Tapi, penting untuk dipahami bahwa anugerah Allah tidak selalu berupa apa yang kita pikir kita inginkan. Allah mengetahui apa yang terbaik. Allah berfirman, : “.... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Tapi jika sesuatu akan dikembalikan dalam satu bentuk atau justru yang lainnya, untuk apa diambil sama sekali? Subhanallah.. Justru dalam proses “kehilangan” itulah kita mendapat anugerah.
Allah menghadiahi kita anugerah, tapi kemudian kita seringkali  bergantung pada anugerah-anugerah itu, alih-alih kepada-Nya. Ketika Allah menganugerahi kita uang, kita bergantung pada uang itu—bukan kepada-Nya. Ketika Ia menganugerahi kita seseorang, kita bergantung kepada orang itu—bukan kepada-Nya. Ketika Ia menganugerahi kita status, atau kekuasaan, kita bergantung pada hal itu, dan perhatian kita menjadi terganggu olehnya. Ketika Allah menganugerahi kita kesehatan, kita menjadi terperdaya. Kita menyangka kita tidak akan mati.
Allah menghadiahi kita anugerah-Nya, tapi kemudian kita malah mencintai anugerah-anugerah itu, padahal seharusnya kita hanya mencintai-Nya. Kita menerima anugerah-anugerah tersebut dan menyuntikkannya ke dalam hati kita, sampai mereka mengambil alih. Segera saja, kita tak bisa hidup tanpa mereka. Setiap waktu terjaga kita habiskan untuk menekuri anugerah-anugerah itu, mematuhi dan menyembah mereka. Pikiran dan hati kita yang diciptakan oleh Allah, untuk Allah, menjadi milik seseorang atau sesuatu yang lain. Ketika ketakutan itu datang, rasa takut akan kehilangan mulai melumpuhkan kita. Anugerah-anugerah tersebut—yang seharusnya tetap berada ditangan kita—mulai mengambil alih kita, sehingga rasa takut akan kehilangan hal itu menguasai kita. Segera saja, apa yang tadinya merupakan anugerah berubah menjadi senjata penyiksaan dan penjara buatan kita sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa terbebas dari hal ini? Terkadang, dalam belas kasih-Nya yang tiada batas, Allah membebaskan kita... dengan mengambilnya.
Karena hal itu diambil, kita berpaling kepada Allah sepenuh hati. Dalam keputusasaan dan kebutuhan itu, kita meminta, kita memohon, kita berdoa. Melalui kehilangan, kita mencapai tingkat ketulusan dan kerendahan hati dan ketergantungan kepada-Nya yang jika sebaliknya tidak akan kita capai—seandainya anugerah itu tidak diambil dari kita. Melalui kehilangan, hati kita berpaling sepenuhnya kepada Allah.
Apa yang terjadi ketika Anda pertama kali memberi anak Anda mainan atau video game baru yang selalu dia inginkan? Dia dikuasai oleh hal itu. Segera saja, dia tak mau melakukan apapun lagi. Tidak melihat apapun lagi. Dia tidak mau mengerjakan tugas-tugasnya atau bahkan makan. Dia terhipnotis untuk merugikan dirinya sendiri. Jadi, apa yang Anda lakukan sebagai orang tua yang penuh kasih? Apakah Anda biarkan dia untuk tenggelam dalam adiksi serta kehilangan fokus dan keseimbangan sama sekali? Tidak.
Anda mengambil mainan itu.
Kemudian, setelah anak Anda memperoleh kembali fokus prioritasnya, memperoleh kembali kewarasan dan keseimbangannya, begitu segalanya diletakkan di tempat yang tepat di hati dan pikiran dan hidupnya, apa yang terjadi? Anda mengembalikan mainan itu. Atau, barangkali Anda memberi sesuatu yang lebih baik. Tapi kali ini, hadiah itu tak lagi berada di hatinya, melainkan berada di tempat yang tepat. Yaitu ditangannya.
Namun, dalam proses pengambilan itu, hal yang paling penting terjadi. Kehilangan dan mendapatkan kembali anugerah itu tidaklah penting. Menghapuskan kelalaian, fokus dan kertergantungan Anda pada hal lain selain pada-Nya, dan menggantikannya dengan mengingat, bergantung, dan fokus hanya kepada Allah, itulah anugerah yang sebenarnya, Allah menangguhkan anugerah-Nya.
Sehingga, kadang-kadang, “sesuatu yang lebih baik” merupakan anugerah terbesar: kedekatan kepada-Nya. Allah mengambil anak perempuan Malik bin Dinar untuk menyelamatkannya. Allah mengambil anak perempuannya, tapi menggantinya dengan perlindungan dari api neraka dan keselamatan dari kehidupan penuh dosa yang menyakitkan dan berjarak dari-Nya. Melalui kehilangan sang putri, Malik bin Dinar diberkati dengan kehidupan yang dihabiskannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan putrinya yang telah diambil akan tetap bersama Malik bin Dinar selamanya di Jannah.
Ibnu Qayyim (semoga Allah meridhoinya) membahas tentang fenomena ini dalam bukunya, Madarij Al-Salikin. Dia berkata, “Ketetapan Tuhan terkait dengan orang-orang mukmin selalu merupakan karunia, bahkan jika itu berupa penangguhan (sesuatu yang diinginkan); dan merupakan berkah, bahkan jika itu kelihatannya merupakan cobaan dan penderitaan yang menimpa dirinya; dan merupakan obat, meskipun kelihatannya sebagai penyakit!”
Jadi, untuk pertanyaan “Begitu sesuatu hilang, apakah ia akan kembali?” jawabannya adalah ya. Ia akan kembali. Terkadang disini, terkadang disana, terkadang berupa sesuatu yang berbeda, tapi lebih baik. Namun, anugerah terbesar terletak di balik pengambilan dan pengembalian itu. Allah memberi tahu kita dalam firman-Nya, “Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus [10]:58) :) :) :)
Disadur dari

Kepingan hikmah dalam buku karya: Yasmin Mogahed, berjudul Reclaim your heart”, yang diterjemahkan oleh Nadya Andwiani.

You May Also Like

0 komentar

Entri yang Diunggulkan

Ibrah: Orang-orang Pergi. Apakah Mereka Kembali?

Bismillah. Kepergian itu sulit. Tapi, kehilangan lebih sulit lagi. Mengapa orang-orang harus saling meninggalkan? Jawabannya membawa saya...

Nobody's perfect

Pengikut