BOOK REVIEW Ke-4: Memberi Jarak pada Cinta dan Kehilangan-Kehilangan yang Baik
pict by google
Kepincut
dengan sampulnya menjadi salah satu alasan mengapa saya memutuskan membaca buku
ini. Alasan lainnya, saya penasaran dengan buku yang terdiri dari kumpulan
cerita ini. Buku ini dicetak pertama kali oleh mediakita pada tahun 2016. Buku yang aku baca
ini adalah buku cetakan ketiga, sementara sang penulis menyatakan bahwa buku
ini sedang dalam proses cetak yang kedelapan. Wow.. Subhanallah so amazing!!!
Buku
ini ditulis oleh seorang yang memiliki pena, Falafu. Buku dengan ketebalan 234
halaman ini sepertinya menceritakan kisah nyata “patah hati “, entah yang
pernah dirasakan penulis atau justru orang-orang disekitarnya. Dari bukunya, saya bisa
merasakan betapa move on dari patah
hati itu begitu sulit, apalagi jika sebelumnya kita sudah terlanjur jatuh hati
begitu dalam. Namun buku ini tidak melulu tentang patah hati, namun juga sebuah
kejujuran untuk belajar mencintai dengan sederhana yang keluar dari hati dan
pikiran seorang Falafu ( :
Leggo!!
Buku
ini diawali deskripsi sayang yang dikemukakan penulis. Rasa “sayang” yang diungkapkannya mungkin mewakili segenap
perasaan sebagian orang diluar sana. Perasaan khawatir seorang ibu kepada
anaknya, seorang istri kepada pasangannya. Keduanya memiliki esensi yang sama
yakni, menjaga orang yang kita cintai dari sebuah kekhawatiran. Yap, tentang
kondisi, kabar, semuanya akan dengan mudah kamu utarakan. Betapa kamu ingin
menjaga “dia” dari sebuah kekhawatiran, membuatnya jauh dari rasa “diabaikan”.
Itu merupakan titik awalmu membuat seseorang merasa berharga untuk berada disisimu.
Siap-siap Patah hati
Pada
chapter-chapter berikutnya, penulis mulai menyuguhkan mata kita dengan lika
liku permasalahan yang dijalani sebuah pasangan hingga ungkapan patah hati yang
tragis. Oh tidak. Kamu jangan “ilfeel” dulu, buku ini menyajikan luapan patah
hati dari kaca mata seorang perempuan, dan menggambarkan betapa ia berusaha
keras untuk bangkit dari patah hatinya. Hal yang terpenting adalah bagaimana
kita tidak terperdaya untuk menoreh luka kepada orang lain, sebab kita telah tahu
betapa sesaknya rasa karena patah hati itu.
“karena luka adalah bagian dari hidup
yang perlu ada untuk kita jalani”
-page 19
Penulis
seperti ingin menyampaikan bahwa, ketika kamu patah hati.. sangat wajar bagimu
menangis. Justru dari situlah akan muncul banyak pelajaran yang dapat dimaknai.
Lebih bijak lagi dalam menaruh kepercayaan pada seseorang, lebih bijak dalam
membangun cinta, misalnya.
Saya
sependapat bahwa, terkadang… kita begitu mencintai seseorang hingga kita lupa
mencintai diri kita sendiri. Bukankah itu cinta yang keliru? Ketika kamu masih
sendu memikirkan orang lain, sementara orang yang dipikirkan sudah menemukan
tambatan hati yang baru. Buku ini membuat saya semakin percaya. Menjalin
hubungan sebelum pernikahan memang mewajibkan kita untuk siap-siap patah hati.
Mengapa? Karena disana tidak ada janji nyata yang diikrarkan, tidak ada janji
suci yang dipersaksikan oleh Tuhan dan negara. Maka jangan sedih, jikalau sang
kekasih pergi dan tidak kembali. Memang benar bahwasanya ada juga hubungan
percintaan yang berakhir dipelaminan. Namun benarkah caranya? Apalagi tidak
semua berakhir dipelaminan kan? Bahkan tak jarang menyisakan sakit yang
(nyaris) berkepanjangan.
Sakit
hati yang sesungguhnya dipaparkan oleh penulis pada salah satu chapter di
page-31.
“Aku
pernah berharap begitu kuat, mencintai dengan begitu hebat. Lalu kemudian luka
sedikit, hatiku pecah”
Itu adalah
kalimat pembuka pada chapter ini. Selanjutnya sang penulis menjabarkan betapa
menggantungkan harap begitu besar kepada manusia, dapat mengoyakkan hatimu. Saat jatuh cinta, seluruh bagian dari hati
milikmu kamu berikan padanya. Pada seseorang yang (kamu pikir) memiliki segala
yang kamu perlukan untuk melengkapi kekuranganmu. Walau nyatanya, dia yang
pertama kali membuatmu kehilangan sesuatu yang pernah utuh kamu miliki, yaitu
cinta dalam hati.
Aku masih ingat seperti apa rasa getir yang aku rasakan,
saat aku melihatmu membiarkan perempuan lain bersandar dibahu itu. Setelahnya,
aku jadi perempuan yang tidak menyukai janji. Setelahnya, aku seperti kehilangan
keinginan untuk berharap pada apa pun (Chapter: Memberi Jeda).
Namun sekali
lagi, Falafu seolah ingin menguatkan para wanita bahwa: kamu harus bangkit dari
patah hati. Mengambil sisi positif dari peristiwa tersebut menjadi langkah
terbaik. Sebab kita akan hidup sekali lagi dengan kadar harap kepada manusia,
yang tidak melebihi pengharapan kita kepada Tuhan. (:
Hal buruk bisa jadi datang sebagai
pelukan Tuhan yang sudah lama kamu lupakan. Tuhan, mungkin hanya ingin kamu kembali ke
dekapan-Nya-dengan memberimu sesuatu
yang kelak akan membuatmu ingat bahwa
manusia memang makhluk yang paling sempurna-tetapi bukan berarti makhluk yang
bisa melakukan apa saja yang menurut
mereka benar (page 39)
Memaknai Rindu
Tak
melulu soal patah hati, Falafu juga menorehkan untaian kata tentang kerinduan
yang melanda mereka yang memiliki cinta begitu besar. Salahkah ketika
merindukan seseorang dengan begitu besarnya? Siapa kah yang paling pertama
terbersit? Orang tua? Saudara? Sahabat? Atau mungkin pasangan halalmu? Lewat
chapter ini (red: page 29), penulis ingin menyampaikan bahwa rindu itu adalah
satu hal yang paling menyiksa ketika kamu menyayangi seseorang. Kamu yakin
betul bahwa terkadang rindu itu bikin dadamu sesak, namun kau tak ingin jua
jika rindu itu menghilang dari hatimu. Sebab kau khawatir, akan ada rasa yang
memudar jika rindu itu tidak kau rawat. Lewat rindu, selalu ada alasan bagimu
untuk melakukan yang terbaik. Sebab ada seseorang diujung sana yang menjadi
alasanmu untuk terus merawat rindu itu, yang menjadi alasan kelak bagimu
memperjuangkan sebuah pertemuan. Saya jadi berpikir, bagaimana rasanya menjadi
pelajar di kampung orang ? Jauh dari orang tua. Selesai secepatnya dengan hasil
terbaik tentu menjadi impian, salah satu alasannya karena ada orang-orang yang
tidak ingin dikecewakan. Yah, agar kelak dapat pulang untuk menuntaskan rindu, dengan
mempersembahkan sebuah hasil kerja keras yang terbaik. Pertemuan memang solusi
terbaik untuk menuntaskan rindu. Namun dari rindu juga kita belajar arti sebuah
perjuangan. Perjuangan untuk berhenti berangan-angan hingga lupa melanjutkan
hidup, sebab kita harus bangkit.. menjadi yang terbaik untuk orang-orang yang
berharap penuh kepada diri.
Bangkit dari Patah Hati
Well,
sebagian wanita menjadi begitu sulit untuk melupakan kenangan pahit karena
cinta yang kandas di tengah jalan. Penulis menggambarkan betapa sulitnya upaya
untuk melupakan seseorang. Aku punya
sejuta alasan untuk berhenti memikirkanmu. Namun, aku pun memunculkan jutaan
alasan lain untuk mengingatmu kembali. Aku tidak punya alasan untuk memberimu
kesempatan maaf, tetapi aku justru selalu lebih sulit memaafkan diriku sendiri
karena pernah membiarkanmu menyakitiku. Kamu adalah luka yang belum juga bosan
mengiris. Kamu membuat esokku berhenti di kemarin dan tak pernah mampu beranjak
kemana-mana. Dan, bagian terburuk ku dari kesemuanya adalah kamu mampu membuatku
terus bertanya-tanya, hal apa yang salah mengalir di dalam diriku sehingga aku
begitu pantas dilupakan dengan cara yang begitu buruk. (page 43-44)
Dari
potongan statement itu aku memahami
bahwa, patah hati pada mulanya pasti membuatmu
terpuruk. Namun patah hati yang sudah terlanjur menghampiri pada akhirnya akan memaksa kita untuk
melanjutkan hidup. Walau memang berat ketika ingin mencoba bangkit, kenangan
pahit itu kadang kembali terkenang. Dan diri mulai menyalahkan orang lain
hingga diri sendiri. Kamu bisa membaca rentetan kata penulis pada chapter :
Percayalah
Aku tahu bahwa mencintaimu adalah
sebuah kesalahan. Kesalahan yang aku syukuri karena pernah ada untuk aku lalui.
Aku menangis. Hingga aku bahkan sempat begitu mencaci diriku sendiri karena
pernah mencintaimu. Aku membencimu, karena selalu membuatku ingin memutar waktu
kembali....... Aku tidak pernah mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi padamu.
Tapi aku, sudah tidak lagi peduli pada apa-apa yang sedang kamu alami. Karena
kamu bukan lagi apa-apa bagiku. (Chapter: Sebuah kesalahan)
Aku masih terus merindukanmu. Walau
setiap kali melakukannya selalu saja ruas di sela-sela hatiku menyempit, aku
tetap suka melakukannya. Siapa pun boleh menganggap ini bodoh. Namun, setiap
manusia punya caranya masing-masing untuk membereskan luka yang sedang mereka
derita. Biarkanlah aku melakukannya selagi aku bisa, izinkan aku melupakanmu
saat aku mau. Aku berjanji bahwa tidak ada satu pun dari kalimat ini yang kelak
sampai ke kedua matamu yang selalu jadi lingkaran favoritku di planet ini
(chapter: Mengingatmu Hari ini dalam Rangka Melupakanmu Selamanya).
Aku sudah siap untuk tidak lagi
memilih mengingatmu, menjadi bagian dari caraku menjalani hidup ini- tanpa
pernah memaksakannya untuk terjadi. Karena aku tahu, akan ada giliranku untuk
tidak lagi ingin merindukanmu (page 73).
Bangkit
dari patah hati itu adalah sebuah proses penyembuhan yang harus dilalui. Meskipun
ritmenya begitu fluktuatif. Tak akan ada kata sembuh, jika tak melalui fase itu.
Sebab patah hati setelah mencintai begitu dalam membutuhkan kebesaran hati
untuk menerima kenyataan. Ketika kita berhasil melaluinya, kita akan begitu
terkejut dan berterima kasih kepada Tuhan yang membuat diri menjadi semakin
tangguh dan kuat karena telah diizinkan untuk melalui cobaan hati yang mungkin
menghabiskan sekian banyak waktu dan energi. Jangan sesali, itu adalah bagian
dari proses. Mungkin lewat cara itu, Tuhan ingin diri lebih dekat pada-Nya. Tuhan
ingin sampaikan, bahwa satu-satunya tempat terbaik untuk menaruh harap hanyalah
kepada-Ku. Maka adakah yang lebih menenangkan hati selain dekat kepada Sang
Pemilik Hati?
Saat
aku terluka, maka aku pun harus bersedia menghampiri kesembuhan (page 55)
Aku
selalu ingin mengingatmu dalam ingatan terbaik yang kita punya. Maka
perbolehkan aku untuk menulis ini sebagai pengingat bahwa kita pernah saling
jatuh cinta-tetapi aku sudah selesai dengan semuanya (Chapter: I am done with you).
Mencintai dengan Cara
yang Baik
Setelah
sekian patah hati yang telah dilalui, sungguh terlalu naïve jika seseorang tak
berani lagi untuk membangun cinta. Penulis mengungkapkan betapa pentingnya memperlakukan
cinta dengan baik, agar jangan sampai menjadi pengecut yang tanpa sadar menoreh
luka kepada hati pasangannya.
Bukankah ketika seseorang berarti
bagimu, seberapa pun sulit terlihat, kamu akan selalu menemukan cara untuk
mencintainya dengan baik ? Tentu saja. Dengan baik, bukan dengan bodoh. Dengan
baik, bukan dengan ceroboh (page 91).
Menemukan cinta saya, Sebuah
harapan baru
Luka
hati itu sembuh atas izin Allah. Dan keyakinan kita kepada-Nya, tentu tidak
akan pernah mengecewakan. Salah satu harapan adalah agar dipertemukan dengan
lelaki terbaik di waktu yang terbaik. Yah, sepertinya itulah salah satu doa
terbaik yang kerap dimohonkan kepada-Nya.
Penulis
mengungkapkan kesyukurannya yang membuncah ketika berhasil dipertemukan dengan
dia yang selalu dimintanya kepada Tuhan. Berikut sedikit petikannya:
Setelah banyak kekecewaan yang aku
telan dalam hidup ini, menemukanmu adalah seperti mengembalikan kepercayaan
pada diriku sendiri. Bahwa aku masih
sanggup mencoba mencintai diriku sendiri dengan baik, dan bahwa aku masih
pantas untuk dicintai kembali dengan baik (page 175).
Kamu seperti sinar matahari yang
menyembul dari sela jaring laba-laba di pagi yang begitu sendu karena gerimis
yang jatuh semalam. Kamu membuat segala sesuatu yang menakutkan menjadi
terlihat lebih indah dan masuk akal untuk dihadapi-bahkan disukai.
Well
itu hanya sedikit petikan. Saya bahkan menyadari, cewek bahkan bisa gombal juga
ketika ia jatuh cinta (:
Kejujuran hati, yang
Diingini Semua Wanita
Tak
dapat kamu sangkal bahwa secara realita benar bahwa wanita membutuhkan
materiil. Tak bisa dinafikan bahwa kita tak bisa hidup dengan bermodalkan cinta
semata. Namun lebih dari itu, ada hal lain yang tak bisa diabaikan. Sederhana
namun sangat berarti maknanya bagi wanita yakni, fakta bahwa kamu mencintainya
dengan sepenuh hati, dan mau berada disisinya dalam keadaan apapun. Rasanya
menjadi salah satu kesyukuran yang diperoleh seorang wanita dari pasangannya. Betul
tidak?
Aku
hanya perlu disayangi tanpa kebohongan dan kepura-puraan. Aku hanya perlu
sayang yang tak suka menekan dan menuntut apa yang telah menjadi kelemahanku
(page 140)
Aku
mau dia yang berjanji bukan semata agar aku percaya, tetapi agar Tuhan pun tahu
dia tengah bersungguh-sungguh padaku (page 158).
Aku
ingin dia yang mencintaiku setulus dan selurus iman dan taqwanya kepada
Sang Pencipta (page 159).
Sang Pencipta (page 159).
Kamu
tidak perlu mengagumkan untuk bisa kusayangi. Kamu cukup bersabar menemani saat
aku marah dan tetap tinggal walau aku membosankan (page 171)
Komitmen untuk “Saling”
Satu Sama Lain
Aku
terkesan dengan cara Falafu menggambarkan cinta sederhana yang seyogyanya
dimiliki oleh sepasang kekasih. Bagaimana ia menggambarkan pentingnya sebuah
visi dalam sebuah hubungan. Bahkan ketika kita marah, pasangan kita harus
memahami bagaimana seharusnya ia berbuat. Termasuk bagaimana cara menyelesaikan
kemarahan tersebut, itu telah disepakati keduanya sejak awal. Cara Falafu
menuturkan pentingnya manajemen ego dimiliki oleh setiap pasangan, hingga
akhirnya rentetan kalimat tentang pernikahan pun terlontarkan. Jangan menikah hanya karena usia sudah cukup
pantas untuk disebut tua, jangan menikah karena lingkungan menuuntutmu untuk
melakukannya. Menikahlah saat kamu sudah benar-benar menemukan dia yang tidak
pernah melupakan Tuhan-Nya hanya untuk mencintai apa yang dimiliki dunia ini. Ya,
mencintai seseorang yang begitu mencintai Tuhannya pasti membuatmu menjadi
wanita paling beruntung di dunia. Sebab bersama Tuhan saja ia setia, apalagi
dengan kamu?
Memaafkan dan Mulai
Mencintai Diri
Ada
satu chapter yang mengemukakan pikiran Falafu tentang korelasi bahagia dengan
mencintai diri sendiri. Mencintai orang lain itu perlu, namun jangan membuat
kita sampai lupa cara mencintai diri sendiri. Tak dapat dipungkiri, rasa sesak
pasti akan menyeruak dalam dada. Melalui chapter “Kita Selalu Tahu”, Falafu
seperti mengajak pembacanya untuk tidak ragu melangkah pada jalan yang kita
yakini dapat memberikan sebuah kebahagiaan. Sebab
tiada yang paling tahu apa yang paling membahagiakanmu kecuali dirimu sendiri.
Selama nafasmu masih bekerja, maka selama itulah kamu hidup. Karenanya, tidak
ada alasan untuk menjadi seseorang yang tidak mencintai dirinya sendiri dengan
layak.
Ini
menjadi hal mendasar sebenarnya ketika kita ingin diperlakukan –dicintai dengan
baik oleh orang lain. Tak lain dan tak bukan adalah belajar mencintai diri
sendiri. Sebab, sampai kapan topeng itu akan dikenakan? Kita tentu harus
bersiap menelan kepergian seseorang (lagi) ketika mempertaruhkan sebuah gengsi
dan harga diri, hanya karena ingin terlihat sempurna di depan orang lain.
Lebih
lanjut Falafu memaparkan bahwa mencintai diri sendiri saja tidak cukup, namun
perlu diperbaiki dengan upaya untuk memperbaiki diri. Menjadi lebih baik dari
hari kemarin adalah sebuah komitmen perbaikan diri. Bergerak meskipun lambat,
tak masalah daripada tidak sama sekali. Masa lalu lagi-lagi menjadi salah satu bahan
yang diangkat Falafu, sebagai titik moving
on kita menjadi pribadi yang lebih baik. Tanpa sadar masa lalu yang
demikian sakitnya, telah mendidik kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Seberapa pun buruk masa lalu,Tuhan selalu
menjanjikan masa depan yang lebih baik-apabila kita bersedia memperbaiki diri
kita. Berhentilah menilai dirimu rendah, hanya karena seseorang
merendahkanmu. If someone wasn’t love you enough. You just need to love
yourself good enough.
Poin
terakhir yang dibagikan setelah semuanya adalah keyakinan dalam hati bahwa
cinta sejatimu akan senantiasa menyayangi sepenuh hati, seberat apapun beban
yang dijalani. Dan yang terpenting adalah kamu tak perlu berpura-pura menjadi
orang lain ketika bersamanya. Sebab dia bersedia untuk memeluk semua
kekuranganmu itu. Catat, itupun kalau Tuhan sudah mengizinkan kamu untuk
bertemu teman hidupmu yaa.. bukan seseorang yang kamu sebut hmm “pacar” mungkin
(:
Memberi
jarak pada cinta, mungkin menjadi momentum bagi seorang Falafu untuk mengobati
sakit hati yang dirasakannya. Kekecewaan yang begitu besar kepada manusia,
nyaris membuatnya tak percaya lagi pada cinta berikutnya. Kamu berhasil membuatku meyakini
bahwa tidak akan ada seseorang yang mampu menerima segala kekuranganku sebagai
manusia- karena kamu saja tidak bersedia (page 44). Dia membuat jarak yang
nyata dalam kamus cintanya. Namun dari situ dia mencoba bangkit lalu memahami,
kehilangan-kehilangan yang terjadi tidak harus dimaknai dengan cara yang buruk.
Kehilangan-kehilangan yang terjadi bukankah terjadi atas izin Tuhan? Yang
darinya kita belajar bahwa, “oh… ada hikmah saya kehilangan ini, ada hikmah
saya kehilangan itu”. Jangan pernah takut
kehilangan seseorang hingga justru membuatmu nyaris kehilangan diri sendiri (page
50). Sampai pada akhirnya, sekelumit kisah itu tanpa sadar membuat kita memaknai
hidup untuk semakin bijak dalam menaruh kepercayaan, dalam memberi janji, dan
tentu dalam mencintai seseorang. Jangan risau karena patah hati, ayo bangkit
lagi (‘:
0 komentar