Keanekaragaman Sumber Pati Lokal dalam Balutan Teknologi

by - 6:12 PM

Ditulis oleh Rizki Aristyarini
Dipublish kembali
artikel asli : klik-->> http://gopanganlokal.miti.or.id/keanekaragaman-sumber-pati-lokal-dalam-balutan-teknologi/


Jika dilihat pada peta, maka Indonesia hanyalah jejeran pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan biru. Namun dibalik jejeran pulau-pulau kecil itu, nyatanya negara ini sangatlah kaya. Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah oleh Yang Maha Kuasa khususnya, keanekaragaman hasil-hasil pertanian. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah keanekaragaman komoditi sumber pati lokal. Sumber pati lokal dapat diolah menjadi beragam produk pangan dengan sentuhan teknologi. Salah satu bentuk syukur akan karunia Illahi ini adalah adanya upaya nyata untuk mampu mengembangkannya secara maksimal. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi kaum cendekiawan, dan seluruh masyarakat yang merasa memiliki Indonesia, menjelang dimulainya pasar bebas tahun 2015 yang sudah didepan mata.


Terkait dengan keanekaragaman sumber pati lokal, makromolekul bernama “pati” mungkin terdengar asing ditelinga beberapa orang. Namun bagi mereka yang sudah berkecimpung di dunia biologi, farmasi, hingga teknologi pangan, pati bukanlah menjadi suatu hal yang baru. Pati merupakan bagian dari karbohidrat, dan sumber utama penghasil energi dari pangan yang dikonsumsi oleh manusia. Sumber-sumber pati di dunia berasal dari tanaman sereal, legume, umbi-umbian, serta tanaman palm(1).



Masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi satu jenis sumber pati (jenis karbohidrat) saja sebagai bahan pangan pokoknya yakni, beras. Sekitar 95% masyarakat menggantungkan diri kepada beras sebagai bahan makanan pokok(5). Penyataan tersebut tak dapat disalahkan, walaupun benar adanya bahwa ada kalangan masyarakat yang mengonsumsi sagu, jagung, atau bahkan mulai menerapkan beras analog sebagai panganan pokoknya untuk memenuhi kebutuhan akan energi. Namun, semua itu masih terbatas pada jenis komoditi tertentu yang  diolah pada masyarakat yang bersangkutan.

Fenomena pemanfaatan sumber pati yang masih terbatas tak hanya berkisar pada penggunaannya sebagai sumber energi pokok. Pembuatan produk seperti roti, mi, kue bolu, serta beberapa kue-kue tradisional oleh para pengusaha kita, masih bergantung pada jenis komoditi tertentu misalnya, tepung gandum. Padahal, media tak henti-hentinya meng-ekspos kegiatan impor negara kita terhadap tepung gandum.

Jika kembali kita mencoba menerawang lebih jauh, sumber pati Indonesia sungguh sangat beragam. Sumber pati tersebut tak hanya berperan sebagai sumber pemenuhan energi, namun pati dan produk turunannya dapat diolah menjadi beragam olahan pangan. Namun sekali lagi, hal tersebut hanya terbatas dikenali dan dipahami oleh kaum cendekiawan yang waktu perkuliahannya cenderung diisi dengan pembelajaran mengenai “pati”, beserta jenis turunan karbohidrat lainnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya bermunculan skripsi-skripsi yang mengangkat tema pati termodifikasi. Selain itu, mulai pula bermunculan dan berkembang usaha bisnis mahasiswa yang topiknya masih tak jauh-jauh dari pemanfaatan jenis pati, yang diharapkan mampu dijadikan sumber karbohidrat alternatif yang terjangkau bagi masyarakat. Hal ini tentu saja akan meningkatkan nilai ekonomi komoditi sumber pati. Lalu, siapa yang untung jika begini? Tentu saja bangsa dan negara Indonesia. Oleh karenanya, di zaman modern ini sudah saatnya masyarakat Indonesia bangkit mengolah pangannya dengan intervensi teknologi.

Dibangku perkuliahan  ilmu dan teknologi pangan,  diperoleh ilmu bahwa komoditi ubi kayu (Manihot esculenta) mengandung karbohidrat sebesar 37,0%(5,6), ubi jalar (Ipomea batatas) mengandung karbohidrat sebesar 27,0%(5,7,), sorgum (Sorghum vulgare) mengandung  karbohidrat sebesar 71%(5), biji soba (Fagopyrum esculentum) mengandung karbohidrat  sebesar 64,4%(5), jagung (Zea mays) mengandung karbohidrat sebesar 72%(5), umbi ganyong (C. edulis) mengandung karbohidrat sebesar 22,6 gram/100 gram(4), umbi suweg (Amorphophallus companulatus) mengandung karbohidrat sebesar 80-85%(2), dan gadung (Dioscorea hispida) mengandung karbohidrat sebesar 23,5 gram/100 gram(3).

Lalu jika kita mengaitkan antara fakta tersebut, “pati” lokal dan turunannya, dengan teknologi, apakah yang ada dipikiran anda? Anda mungkin akan menyebutkan kembali komoditi sumber-sumber pati terlebih dahulu. Hingga akhirnya akan banyak ide-ide atau inovasi terkait pangan yang akan terlintas. Akan ada ice cream bertekstur halus dan memiliki sensasi mouthfeel yang baik (pemanfaatan pati sebagai bahan pengisi, atau modifikasi pati sebagai gula dengan formula terbaik). Akan ada mayonaise yang menggunakan pati lokal termodifikasi hingga tak mudah teretogradasi. Akan ada sirup glukosa, dan  sirup fruktosa yang tidak hanya bersumber dari ubi kayu (Manihot esculenta). Namun, dapat diperoleh dari sumber pati lokal yang mungkin masih jarang disentuh seperti pati gadung (Dioscorea hispida ), pati ganyong (C. edulis), pati suweg (Amorphophallus companulatus), pati gembili (Dioscorea esculenta)(8), serta dari sumber pati lainnya. Akan ada pembuatan keripik yang terbuat dari komoditi uwi (Dioscorea alata) (9). Serta beragam aplikasi penggunaan pati dan turunannya pada pembuatan permen, saus, jam, dan produk pangan lainnya.

Tidak sebatas pada contoh-contoh produk tersebut, dengan bantuan teknologi pangan kita mampu menghasilkan beragam produk yang aman dikonsumsi. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, pati ubi kayu (Manihot esculenta) dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan sirup fruktosa. Teknologi pembuatan sirup fruktosa dapat melalui melalui tiga tahapan yakni liquifikasi, sakarifikasi, dan isomerisasi(12). Hal ini tentu dapat diterapkan pada komoditi lainnya dengan perlakuan yang tepat. Selain itu, kita juga mampu menghasilkan tepung yang menyerupai sifat tepung terigu. Melalui teknologi fermentasi. dapat diterapkan pembuatan tepung mocaf (modified cassava flour. Modifikasi tepung singkong mampu menyubstitusi tepung terigu. Tepung singkong  yang telah dimodifikasi memiliki karakteristik mirip tepung terigu sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengganti terigu atau campuran terigu(11). Selain itu, saat ini tengah maraknya dikembangkan salah satu topik terkait teknologi pangan yakni, modifikasi pati. Namun pemanfaatan pati lokal masih jarang ditemui, sebagai anak negeri tentu ini menjadi tugas besar, apalagi bagi mereka yang jelas-jelas mendalami topik ini. Dilakukan modifikasi pati karena sifat pati alami yang memiliki beberapa kekurangan misalnya tidak tahan panas, tidak tahan asam, serta mudah mengalami retogradasi. Retogradasi adalah kecenderungan terbentuknya ikatan hidrogen dari molekul-molekul amilosa dan amilopektin selama pendinginan sehingga air terpisah dari gelnya(1,10). Hal ini akan menyulitkan dalam proses pengolahan produk pangan.

Modifikasi pati bertujuan mengubah sifat kimia dan atau fisik pati secara alami, yaitu dengan cara memotong struktur molekul, menyusun kembali struktur molekul, oksidasi, atau substitusi gugus kimia pada molekul pati(14). Teknologi modifikasi pati diharapkan mampu menghasilkan produk yang aman dikonsumsi, mudah dan praktis. Melalui modifikasi pati metode enzimatis(1), sekali lagi kita mampu membuat soft drink ala pati lokal. Ketergantungan akan sukrosa dapat dikurangi dengan pemanfaatan  pati lokal. Modifikasi pati secara fisik juga dapat dilakukan dengan metode pre gelatinisasi. Hasil akhirnya adalah produk pangan instan seperti bubur instan, dan produk pangan bayi dengan nilai kelarutan yang tinggi.  Hal ini terbilang praktis karena produk tersebut tak perlu dimasak kembali(1). Secara kimiawi, dapat dilakukan modifikasi secara cross linking serta substitusi. Produk yang diolah dengan melibatkan modifikasi pati cross linking akan cenderung stabil selama pemanasan, contoh produknya yakni pada pembuatan makanan bayi, serta soun. Pemanfaatan teknologi modifikasi pati metode substitusi juga memberi manfaat pada pembuatan ice cream(1,13). Keterlibatan metode subtitusi akan menghambat proses retogradasi, sehingga akan dihasilkan tekstur ice cream yang lebih lembut. Teknologi modifikasi pati juga dapat menghasilkan pati resisten. Mengonsumsi pati resisten berarti kita telah memberi asupan nutrisi bagi mikroba baik yang hidup di usus besar. Pati resisten dapat diperoleh secara alami maupun melalui proses pengolahan. Pati resisten merupakan jenis pati yang tak dapat diserap dalam saluran pencernaan (usus halus) dan langsung menuju usus besar (kolon). Oleh karena itu, pati resisten digolongkan sebagai sumber serat pangan, dan berperan sebagai prebiotik(1).

Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa yang memahami seluk beluk teknologi pangan dengan benar tentulah kaum cendekiawan yang telah mendalaminya. Apakah yang akan terjadi, jika kaum cendekiawan tidak mengurung ilmunya dalam selembar kertas binder ataupun setumpuk buku? Apakah yang akan terjadi jika seluruh kaum cendekiawan Indonesia mulai berpikir untuk membagi atau mengajarkan ilmunya kepada masyarakat? Tentu pemanfaatan pati dan turunannya dengan beragam fungsinya, tak hanya diketahui oleh kaum cendekiawan saja. Namun, akan menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi masyarakat khususnya yang di pedesaan. Ketika pemanfaatan pati lokal mulai tumbuh, para petani pun tak akan kehabisan ide untuk memilih komoditi apa yang akan dibudidayakannya.

Melihat besarnya peluang pengembangan komoditi pati lokal Indonesia, ditambah lagi ribuan cendekiawan yang telah dan sedang mendalami ilmu dan teknologi pangan, maka bukan tidak mungkin ke depannya ketahanan pangan akan dicapai oleh bangsa dan negara Indonesia. Namun butuh perhatian segenap masyarakat dan jejeran pemimpin bangsa ini, untuk giat dan sungguh-sungguh mengembangkannya. Jika tidak, pada pasar bebas tahun 2015 Indonesia akan menjadi santapan lezat bagi para pendatang asing. Alhasil, kita kembali akan dijajah secara halus. Tak takutkah kita jika kekayaan, keanekaragaman pangan lokal Indonesia, secara tidak langsung berpindah kepemilikan menjadi milik bangsa asing? Cukuplah ketidaktahuan dan keapatisan hari kemarin. Hari ini mari bersama berdiri tegak, merubah mindset, dan bergegas mengembangkan pati lokal berbasis teknologi.  Go pangan lokal Indonesia!

Referensi
1. Bastian, Februadi. 2011. Teknologi Pati dan Gula. http://www.unhas.ac.id/lkpp/ tani-2/Februadi-tdk-angk.1-pertan.pdf. Diakses pada tanggal 29 April 2014. Makassar.
2. Faridah, DN. 2006. Sifat Fisiko Kimia Tepung Suweg (Amorphophallus Campanulatus B1.) dan Indeks Glisemiknya. http://jamu.journal.ipb.ac.id/ index.php/jtip/article/download/511/4134. Diakses pada tanggal 29 April 2014. Makassar (file p33011 pati tahan cerna).
3. Koswara, Sutrisno. 2013b. Teknologi Pengolahan UmbiUmbian Bagian 4: Pengolahan Umbi Gadung. http:// seafast.ipb.ac.id/tpc-project/wp-content/ uploads/2013/10/3-pengolahan-gadung. pdf. Diakses pada tanggal 29 April 2014. Makassar.
4. Koswara, Sutrisno. 2013b. Teknologi Pengolahan Umbi-Umbian Bagian 4: Pengolahan Umbi Ganyong. http:// seafast.ipb.ac.id/tpc-project/wp-content/ uploads/2013/10/4-pengolahan-ganyong. pdf. Diakses pada tanggal 29 April 2014. Makassar.
5. Nurmala, Tati. 2003. Serealia Sumber Karbohidrat Utama. Jakarta: PT Rineka Cipta.
6. Plantamor. 2014a. Informasi Spesies Singkong Manihot esculenta Crantz. http://plantamor.com/index. php?plant=814. Diakses pada tanggal 30 April 2014. Makassar
7. Plantamor. 2014b. Informasi Spesies Ubi Jalar Ipomoea batatas Poir. http://plantamor.com/index.php?plant=711. Diakses pada tanggal 30 April 2014. Makassar
8. Plantamor. 2014c. Informasi Spesies Gembili Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill. http://www.plantamor.com/index. php?plant=1687. Diakses pada tanggal 30 April 2014. Makassar.
9. Plantamor. 2014d. Informasi Spesies Ubi Kelapa Dioscorea alata. http://www. plantamor.com/index.php?plant=481. Diakses pada tanggal 30 April 2014. Makassar.
10. Pomeranz, Y. 1985. Functional Properties of Food Components Acaddemic Press, Inc. (Diakses melalui http://www.unhas. ac.id/lkpp/tani-2/Februadi-tdk-angk.1- pertan.pdf.). Diakses pada tanggal 29 April 2014. Makassar.
11. Salim, Emil. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf Bisnis Produk Alternatif Pengganti Terigu. Yogyakarta: Lily Publisher
12. Suyani, Hamzar. 1991. Buku Kimia dan Sumber Daya Alam. Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas.
13. Widyastuti, Enrika. 2012. Modifikasi Pati. https://endrikawidyastuti.files.wordpress. com/2012/03/modifikasi-pati1.pdf. Diakses pada tanggal 29 April 2014. Makassar.
14. Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starches: Properties and Uses. CRC Press, Boca Raton, Florida. (Diakses melalui http:// pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ p3301115.pdf). Diakses pada tanggal 29 April Makassar.

You May Also Like

0 komentar

Blog Archive

Entri yang Diunggulkan

Ibrah: Orang-orang Pergi. Apakah Mereka Kembali?

Bismillah. Kepergian itu sulit. Tapi, kehilangan lebih sulit lagi. Mengapa orang-orang harus saling meninggalkan? Jawabannya membawa saya...

Nobody's perfect

Pengikut