MENGENAL SLOW FOOD LEBIH DEKAT
A.
Latar Belakang
Kecenderungan untuk selalu
mengonsumsi fast food (makanan siap
saji) sebagai menu saat bersantap di luar rumah tak jarang menjadi pilihan bagi
mereka yang sibuk dengan aktivitasnya. Namun dewasa ini masyarakat menjadi
semakin cerdas dan mulai berpikir dan kritis tentang menu yang sebaiknya
diputuskan untuk dikonsumsi. Termasuk dalam konsumsi fast food, mulai ada upaya pembatasan tentang frekuensi
mengonsumsi. Dipaparkan oleh Khomson (2002), bahwa fast food adalah panganan
yang sebenarnya mengandung nutrisi, namun penting untuk tidak dikonsumsi
berlebihan sebab akan terjadi ketidakseimbangan nutrisi (porsi yang tidak
seimbang antara serat, vitamin, mineral, kandungan garam, lemak bagi tubuh)
yang dapat menyebabkan munculnya beragam penyakit degeneratif seperti
hipertensi dan kolesterol.
Namun kenyataannya upaya
untuk memulai pola hidup sehat yang bermula dari makanan, telah digencarkan
oleh seorang aktivis pangan Italia, Carlo Petrini sejak 30 tahun yang lalu
tepatnya pada tahun 1986. Hal ini bermula ketika Mc. Donald berupaya untuk
membuka gerai pertamanya di Roma, Italia. Rencana ini mengganjal nurani Petrini
yang menganggap bahwa pembukaan gerai tersebut justru akan menjadi ancaman bagi
tradisi konsumsi pangan lokal oleh masyarakat Italia saat itu. Petrini bahkan
memimpin demonstrasi kepada lokasi situs Mc. Donald. Kejadian tersebut
melatarbelakangi dibentuknya pergerakan dan asosiasi slow food atau slow food
movement, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran untuk mulai
mengonsumsi makanan dan menggiatkan tradisi lokal yang terancam punah
(Pendhakar, 2016).
Namun slow food movement tidak sekedar ajakan
untuk mengonsumsi makanan lokal khas daerah tempat kita tinggal. Lebih dari itu
pergerakan ini mencakup upaya kesadaran kita untuk memperhatikan nutrisi menu
yang akan dimakan, mempertimbangkan asal dan proses pengolahannya (ramah lingkungan
atau tidak memicu penyakit tertentu), hingga kemasannya. Hal ini mencakup pada
tiga tagline filosofis slow food movement yakni Good, Clean, Fair yang ditujukan bagi
konsumen, produsen, dan planet bumi yang kita tempati.
B. Ruang Lingkup Slow Food
Asosiasi slow
food memiliki beberapa program kerja dalam rangka membumikan budaya slow food, yang dilaksanakan oleh
seluruh partisipan dan penggiatnya. Program
kerja besar mereka yakni the Ark of Taste
(membuat dan menyebarkan katalog yang memuat informasi tentang produk
pangan tradisional yang beresiko punah); The
Slow Food Presidia (upaya mempertahankan kualitas produksi pangan tanpa
mengesampingkan aspek lingkungan, mempertahankan metode pengolahan tradisional,
serta penggunaan varietas tanaman lokal); The
Earth Markets (program kerja yang melibatkan para produsen kecil yang
menjual beragam produk lokal secara berkelanjutan); dan Terra Madre (sebuah jaringan komunitas pangan yang terdiri atas
petani, nelayan, koki, generasi muda, penggembala, pengrajin, aktivis, serta
peneliti yang menggiatkan konsumsi pangan lokal, serta turut menyelamatkan
keanekaragaman hayati, melindungi lingkungan, dan peduli akan budaya dan
tradisi lokal).
Gambar 1. Skema
pergerakan slow food sejak tahun 1989
hingga tahun 2015 (Dumitru et al. 2016)
Seluruh program kerja
tersebut tidak terlepas dari tiga prinsip dasar dari slow food. Makna “good” dimaksudkan
bahwa dapat dipastikan makanan yang dikonsumsi telah melalui tahap formulasi
yang baik sehingga dihasilkan produk dengan rasa serta flavor yang baik. Hal
ini menjadi tantangan bagi para produsen dalam menentukan bahan baku serta
proses pengolahan terbaik, tanpa mengesampingkan nilai nutrisinya. Adapun makna
“clean” ditujukan kepada segala hal
yang melibatkan tahapan rantai produksi produk pangan hingga sampai ke tangan
konsumen. Hal ini melingkupi lingkungan yang merupakan tempat seluruh produk
pangan kita bermula yang senantiasa diprioritaskan kelayakannya demi aktivitas
pertanian dan peternakan yang berkelanjutan, dalam hal ini kaitannya dengan
keseimbangan ekosistem alam. Kualitas kondisi pasca panen tersebut akan sangat
berimbas pada proses pengolahan produk pangan. Makna “fair” melingkupi keadilan sosial pada lingkungan serta kondisi
kerja yang menghormati hak-hak pekerja misalnya dengan memberikan upah yang
layak. Aplikasi ketiga prinsip tersebut diharapkan mampu memperbaiki sistem
pangan, sehingga setiap orang tidak hanya turut serta merasakan dampak
positifnya namun turut serta berpartisipasi aktif dalam mewujudkannya.
Namun pergerakan slow food bukan tidak menghadapi kendala. Kontroversi
muncul sebab slow food cenderung
mengajak masyarakat untuk mulai mengonsumsi pangan lokal, serta pangan organik,
yang oleh beberapa pihak sangat dikhawatirkan sebab memerlukan lahan yang jauh
lebih besar. Hal ini menjadi tantangan, sehingga kembali kepada kebutuhan
setiap pribadi tentang seberapa peduli mereka tentang kondisi serta kualitas
produk pangan yan akan dikonsumsinya.
Upaya implementasi slow food berawal dari kesadaran kita akan
melimpahnya keanekaragaman hayati yang dimiliki bumi ini yang mencakup tanaman,
hewan, mikroorganisme, dan tumbuhan. Belum termasuk hasil pemuliaan yang
menghasilkan beragam varietas yang dapat tumbuh sesuai lingkungan di daerah
sekitar kita. Secara alami hasil pemuliaan tersebut akan menjadi lebih kuat,
serta membutuhkan air dan pestisida dalam jumlah yang tidak terlalu besar.
Keanekaragaman ini banyak dimaksimalkan oleh para petani (Ceriani, 2015). Kesadaran
ini secara tidak langsung dapat menumbuhkan kepekaan dan keingintahuan yang
lebih besar untuk mampu mengoptimalkan keanekaragaman tersebut dengan maksimal,
yang juga dapat dinikmati hingga generasi mendatang.
Pengetahuan tradisional
juga memiliki peran besar dalam upaya pengembangan slow food. Pengetahuan yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan
oleh para generasi terdahulu dalam mengolah keanekaragaman hayati bahkan
dimulai dari mengolah tanah yang sulit sekalipun hingga menghasilkan beragam produk
pangan, berbekal cara turun-temurun yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Pengetahuan ini mencakup cara mengolah bahan pangan menjadi
produk pangan berupa roti, manisan, permen, dan lain-lain. Hal inilah yang
kerap kali kita sebut dengan produk pangan lokal. Turut serta melestarikan pangan
lokal berarti turut melindungi segenap keanekaragaman hayati serta budaya lokal, sebab pangan lokal sedikit berasal
dari sana. Mengonsumsi pangan lokal berarti menggiatkan keseimbangan ekosistem,
yang pada dasarnya dimanfaatkan dengan cara yang baik oleh petani sejak dari
lahan hingga menghasilkan produk pangan.
Keselarasan antara
sumberdaya alam yang melimpah dengan cara pemanfaatan yang ramah lingkungan
menjadi salah satu hal yang ingin dicapai melalui slow food movement, sebab dengan cara demikian sangat memungkinkan
untuk mampu menjamin ketersediaan makanan yang “baik, bersih, dan adil” bagi generasi
mendatang. Berikut adalah beberapa tantangan serta bahan pertimbangan dalam
pengaplikasian slow food yang bermula
dari diri sendiri.
1)
Konsumsi Kue
Kue yang banyak memanfaatkan palm
oil sebagai salah satu bahan pembuatannya juga memberi kontribusi besar
dalam hal pengaplikasian slow food secara
konsisten. Hal yang menjadi pertimbangan adalah banyaknya pohon di area hutan hujan yang harus ditebang dalam rangka
penanaman kelapa sawit. Padahal diketahui bahwa, hutan hujan memiliki peran
yang sangat krusial dalam mencegah erosi banjir serta menstabilkan iklim dengan
cara menyerap karbon dioksida. Ulasan ini menjadikan para konsumen untuk
berpikir lebih keras untuk mengurangi atau bahkan mencari alternatif
produk pangan yang tidak melalui
rangkaian tahapan industri yang tidak sehat. Beberapa contoh misalnya mengonsumsi
jus buah, atau mencoba membuat kue
sendiri (home made).
2)
Konsumsi Pisang
Pisang
yang dikonsumsi oleh konsumen internasional secara umum dipasok oleh lima
perusahaan multinasional yang pada dasarnya melakukan penanaman pisang di
perkebunan besar. Penggunaan pestisida dalam jumlah besar, begitupun pupuk
sintesis dan fungisida, serta
eksploitasi buruh, menjadi hal kritis yang masih menjadi permasalahan dalam
alur produksi pisang. Selain itu permasalahan lainnya adalah proses distribusi
pisang pasca panen yang terkadang harus berhari-hari menggunakan kapal, yang
tidak jarang ditemukan pisang yang matang sebelum dijual. Selain itu
permasalahan lainnya muncul ketika hanya satu varietas saja yang mendominasi
pasar yakni, Cavendish. Padahal banyak varietas pisang lainnya yang juga
potensial untuk dikomersilkan. Hal yang dapat dilakukan sebagai konsumen adalah
membeli pisang organik, yang jauh lebih memperhatikan keseimbangan lingkungan
serta keberlanjutan sosial bagi petaninya.
3)
Limbah yang
diminimalisir
Ketika berbelanja
kebutuhan misalnya di supermarket, hal yang dipertimbangkan adalah setiap
produk pangan yang kita masukkan ke dalam keranjang belanja maka kita
bertanggung jawab pula atas kemasan yang digunakannya. Slow food melingkupi seberapa ramah lingkungan kemasan yang
digunakan. Misalnya minuman mineral dalam kemasan botol, alangkah baiknya jika
diminimalisir sebisa mungkin dan diatasi dengan menggunakan botol minum yang
dapat digunakan berkali-kali. Selain itu hal menarik lainnya adalah memastikan
kita menghabiskan setiap makanan yang dibeli tanpa harus menyisakannya. Bisa
dibayangkan jika setiap orang di dunia ini menyisakan makanan, sementara di
bagian lain di bumi ini banyak yang berjuang hidup atas kelaparan. Solusi yang
dapat dilakukan adalah sebaiknya produk lokal musiman yang diperoleh di pasar
terdekat menjadi prioritas untuk dikonsumsi, yakni produk yang tidak harus
menempuh jarak yang panjang untuk kita olah dan bahkan jika memungkinkan
alangkah baiknya jika kita langsung membeli dari produsen. Hal ini untuk
meminimalisir terbuangnya bahan atau produk pangan yang membusuk sebelum
dikonsumsi misalnya buah apel yang berbintik, atau wortel yang bentuknya
bengkok. Sebab buah-buahan tersebut tentu tidak akan kita temukan ketika
berbelanja di supermarket
4)
Kritis terhadap
Info Produk pada Kemasan
Konsumen
dapat memutuskan pilihan terbaiknya melalui pemahaman akan informasi yang
disajikan pada kemasan pangan. Namun tidak semua informasi penting disertakan
dalam kemasan, termasuk hal yang sebenarnya penting diketahui oleh para
konsumen. Pada produk keju akan dipaparkan pada kemasannya mencakup bahan yang
digunakan (susu, garam, enzim rennet), berat produk, implikasi yang terjadi
terkait proses pengolahannya, serta tanggal kadaluarsanya. Namun ternyata
informasi tersebut kurang lengkap bagi konsumen yang peduli dengan makanan yang
akan dikonsumsinya, sebab menjadi penting untuk mengetahui jenis susu yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan keju (hasil peternakan lokal atau dibeli
dari negara lain), cara membesarkan ternaknya, jenis makanan yang dikonsumsinya
(rumput atau pakan industri yang mungkin dibuat dengan metode transgenik (Genetically Modified Organism). Banyak
pertanyaan yang tidak terjawab karena terbatasnya informasi yang dimuat dalam
kemasan produk pangan.
Namun
tidak semua seperti demikian, beberapa produk slow food menggunakan label naratif yang memasukkan semua aspek terkait produk sehingga memperkaya wawasan
konsumen serta memudahkannya untuk memutuskan produk pangan yang sebaiknya dikonsumsi.
5)
Berkebun
Menanam
sendiri komoditi bahan pangan yang akan kita konsumsi merupakan salah satu cara
untuk memberikan tubuh asupan makanan yang lebih segar, sehat, dan lezat,
disamping menjadikan kita lebih dekat dengan alam. Berkebun tidak harus
menggunakan lahan yang luas namun dapat
dimulai dari lahan kecil di halaman rumah kita, sebagai salah satu upaya untuk
menghidupkan pangan sehat. Kegiatan berkebun senantiasa digencarkan oleh para
aktivis slow food, yang hingga tahun
2015 telah berhasil menstimulasi sebanyak 500 sekolah di Itali dan 300 sekolah
untuk mulai berkebun, serta sebanyak 10,000 kebun di Afrika. Melalui uraian ini
dapat disarikan manfaat penerapan slow
food sebagai berikut.
1.
Kenikmatan yang
lebih besar ketika menyantap pangan sehat dan bernutrisi bersama orang-orang
terdekat.
2.
Turut serta
mendukung petani lokal serta usaha kecil dan menengah
3.
Praktek
berkelanjutan bertani
4. Mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai
C.
Negara-negara Asia yang Menggerakkan Slow Food
Gambar 2. Upaya penyebaran slow food movement (Malatesta et
al. 2007)
Hingga hari ini jumlah penggerak slow food telah mencapai 100,000 yang mencakup di seluruh dunia.
Bahkan demi keberlanjutannya, slow food mendirikan
University of Gastronomic Sciences yang menawarkan beragam fokus ilmu terkait
produksi pangan dan budaya pangan lokal. Para penggerak tersebut terdiri atas
ratusan komunitas (dari beragam latar belakang) yang terus gencar mengajak untuk mengaplikasikan
slow food yang dimulai dari diri
sendiri. Penggerak slow food terfiri
atas chairman, juga convivium yang merupakan sebutan bagi kelompok penggerak. Negara-negara
di Eropa seperti Italia, Belgia, Swiss, Jerman, Prancis dan Inggris, serta
negara adidaya yakni Amerika serikat bahkan sudah terlebih dahulu menggiatkan
pergerakan ini. Beberapa negara di Asia yang telah turut serta dalam slow food movement adalah India, Jepang,
Malaysia, dan juga Indonesia.
Pergerakan slow food di Jepang sudah menjadi salah
satu fokus pemerintah, yang dilakukan dengan meluncurkan beragam inisiasi untuk
berperan aktif dalam mendidik masyarakat
dalam mengimbangi arus globalisasi makanan dengan pengetahuan tentang makanan
yang tepat dan sehat. Upaya tersebut bermuara kepada ajakan untuk senantiasa
melestarikan dan menerapkan kebiasaan konsumsi panganan lokal, yang menjadi
upaya pemerintah yang ditujukan pula untuk mengurangi masalah obesitas, serta
diet tidak seimbang yang berkembang di negaranya.
Sementara itu melalui slow food movement, Malaysia mulai menggencarkan produk pangan
lokalnya yang kemudian dijadikan tujuan wisata kuliner yang ditawarkan ketika
mengunjungi beberapa daerah di Malaysia. Misalnya di daerah Johor menawarkan
produk Laksa Johor dan Penganan kacau keledek (terbuat dari kentang manis dan
banyak telur yang dipanaskan selama 4 jam). Adapun di Indonesia, aplikasi slow food digencarkan oleh banyak
komunitas disetiap daerah. Komunitas slow
food Kemang melakukan workshop berkebun yang ditujukan kepada anak-anak,
yang menjadi salah satu upaya untuk menginspirasi msyarakat Indonesia untuk
mulai mengimplementasikan slow food
culture. Kenyataannya para penggiat slow
food tersebut, sudah terlebih dahulu menghidupkan pangan organik
dikesehariannya. Salah satunya adalah Bibong Widyarti yang merupakan seorang
petani asal Ciawi yang mempelajari dan mengimplementasikan pertanian organik
melalui komunitas slow food.
Pergerakan slow food sangat
berkorelasi dengan produk pangan lokal yang sangat beraneka ragam. Wandi S. Assayid
merupakan salah seorang yang turut menggali dan menggerakkan potensi lokal
melalui produksi Madu Cingagoler yang berasal dari Banten. Madu tersebut tidak
banyak dikenal karena lokasi kampung Cingagoler yang terpencil, sehinggaWandi
giat memasarkan produknya tersebut ke beberapa wilayah seperti Jakarta dan
Bogor. Upaya yang dilakukan Wandi mampu menjadikan madu Cingagoler masuk ke
dalam daftar 45 Ark if Taste oleh slow food, yakni pangan lokal yang
terancam punah, dan telah dipamerkan di Italia. Tidak hanya dikenal di taraf
Intenasional, produksi madu Cingagoler bahkan mampu membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar kampung Cingagoler. Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang
gigih, mampu menghidupkan lagi produk
pangan lokal yang diharapkan dapat bertahan hingga dapat dinikmati oleh
generasi mendatang.
D.
Kesimpulan
- 1) Slow food menjadi upaya nyata yang dapat dicoba untuk diterapkan secara maksimal dalam rangka tercapainya produk pangan serta aktivitas produksi pangan yang baik, bersih, dan adil.
- 2) Meskipun mengonsumsi fast food tidak selamanya keliru, namun beralih pada produk pangan lokal menjadi upaya nyata untuk menghidupkan kebiasaan yang hampir ditinggalkanseiring berjalannya waktu ditengah arus globalisasi.
- Diperlukan edukasi pangan kepada seluruh lapisan masyarakat, agar lebih memahami proses pengolahan produk bahkan dimulai dengan mengetahuiseluk beluk dari mana produk yang dikonsumsinya berasal.
DAFTAR PUSTAKA
Alfi, A.N. 2016. Slow Food
Kembalikan Kejayaan Makanan Lokal. Tersedia pada: http://lifestyle.bisnis.com/read/20161126/220/606505/slow-food-kembalikan-kejayaan-makanan-lokal
Assman, Stephanie. 2010. Food
Action Nippon and Slow Food Japan: The Role of Two Citizen Movements in the
Rediscovery of Local Foodways. Tersedia pada: http://icc.fla.sophia.ac.jp/global%20food%20papers/pdf/2_2_ASSMANN.pdf
Barrie. 2014. Advantages of the slow food
movement. Tersedia pada: https://www.simcoe.com/shopping-story/4313092-advantages-of-the-slow-food-movement/
Ceriani, S., S. Milano. R. Ponzio. 2015. Bite
Size Slow Food. Tersedia pada: https://www.slowfood.com/about-us/key-documents/bite-size-slow-food/.
Dumitru A., I.L. Blanco., I. Kunze. dan R.G.
Mira. 2016. Transformative Social Innovation: SlowFood Movement.. Tersedia pada: http://www.transitsocialinnovation.eu/content/original/Book%20covers/Local%20PDFs/190%20SlowFood_summary.pdf
Irvingm John. 2017. Slow food. Welcome to Our
Companion: Slow Food. Tersedia pada: https://www.slowfood.com/about_us/img_sito/pdf/Companion08_ENG.pdf
Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi Kesehatan.
Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Malatesta S., M. Mesmain., S. Weiner., W. Yang. 2007.
Companion of Slow Food. Tersedia pada: http://slowfood.com/filemanager/AboutUs/Companion13ENG.pdf
0 komentar