Manajemen Penyimpanan Kurangi Akrilamida pada Produk Olahan Kentang
Ditulis oleh Rizki Aristyarini
Dipublish kembali.
Artikel asli: klik---> http://foodreview.co.id/blog-5669388-Manajemen-Penyimpanan-Kurangi-Akrilamida-pada-Produk-Olahan-Kentang.html
Produk olahan kentang yang melalui proses penggorengan masih menjadi pilihan bagi sebagian
besar muda-mudi untuk bersantai menikmati camilan. Tentu rasanya yang kaya akan rempah dan
penguat rasa mampu menstimulasi otak untuk tidak berhenti mengonsumsi. Namun ada hal riskan yang
patut diwaspadai dari konsumsi produk olahan kentang yang akrab kita sebut french fries atau potato
chips ini.
Penggorengan kentang menggunakan suhu tinggi berpotensi untuk membentuk salah satu senyawa
karsinogen yakni akrilamida. Senyawa ini terbentuk sebagai produk samping melalui reaksi Maillard,
yang melibatkan gula pereduksi dan asam amino asparagin, serta suhu tinggi yang mencapai 120℃.
Akrilamida tergolong dalam senyawa kontaminan hasil proses (baca Foodreview Indonesia Vol. XIII
No.1, Januari 2018 halaman 50). Himbauan potensi karsinogenik senyawa akrilamida telah
didengungkan sejak tahun 2002 oleh The Swedish National Food Administration dan The University of
Stockholm. Kemudian pada tahun 2015, European Food Safety Authority (EFSA) secara resmi
menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji in vivo, disimpulkan bahwa akrilamida pada pangan memiliki
potensi untuk meningkatkan risiko pembentukan sel kanker pada manusia di seluruh jenjang usia, serta
memiliki pengaruh yang berbahaya pada sistem saraf.
Salah satu upaya untuk meminimalisasi terbentuknya senyawa akrilamida pada produk olahan
kentang dapat dilakukan dengan pengendalian bahan baku sejak proses penanaman. Kentang diketahui
sebagai salah satu pangan yang kaya akan karbohidrat kompleks dan memiliki potensi untuk membentuk
karbohidrat sederhana seperti gula mono- dan di-sakarida selama penyimpanan. Gula pereduksi
(monosakarida seperti glukosa dan fruktosa) yang meningkat akan berdampak pada akumulasi kadar
akrilamida pasca penggorengan. Pada 2016, sejumlah upaya pengendalian pasca panen untuk kentang
olahan dipaparkan oleh Food and Drug Administration (FDA), yakni dengan menyeleksi kadar gula
pereduksi pada berbagai varietas kentang dan menggunakan bahan baku dengan kadar gula pereduksi
yang rendah, serta melakukan optimalisasi kematangan kentang dengan melakukan pengontrolan sejak
penanaman hingga pemanenan.
Penyimpanan kentang pasca panen
Kentang pasca panen juga rentan mengalami cold sweetening akibat penyimpanan yang kurang
tepat. Kentang yang disimpan pada suhu yang sangat rendah berpotensi untuk mengalami perombakan
pati menjadi gula sederhana dengan melibatkan peran enzim tertentu. Penyimpanan suhu rendah ini
dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin ketersediaan bahan baku sepanjang tahun, terlebih pada
industri pangan luar negeri yang memiliki empat pergantian musim. Secara fisiologis hal ini terjadi pada
semua produk yang kaya akan polisakarida di mana suhu rendah memicu perombakan senyawa
kompleks menjadi sederhana. Begitupun sebaliknya, suhu penyimpanan yang tinggi memicu terjadinya
pembentukan senyawa kompleks. Fenomena cold sweetening kembali dibuktikan pada penelitian yang
dilakukan oleh Hubert dkk. (2016), bahwa kandungan gula pereduksi pada 11 varietas kentang di India
mengalami peningkatan secara signifikan selama penyimpanan jangka panjang pada suhu 4℃ . Varietas
K. Badhash menjadi varietas dengan peningkatan kadar gula pereduksi tertinggi yakni sebesar 2,509,85
mg/100 g.
Menghindari pembentukan gula pereduksi pada suhu rendah, maka sebaiknya kentang disimpan
pada suhu di atas suhu kritis 4℃ dan dijauhkan dari cahaya untuk meminimalisasi kehilangan zat gizi
yang sifatnya sensitif. Brunton dkk. (2006) menyarankan untuk melakukan penyimpanan pada suhu 8℃.
Hal ini berkaitan dengan yang diungkapkan oleh FAO (2009) tentang penyimpanan kentang secara
terkontrol pada suhu 6℃ saat panen panen yang memungkinkan dilakukannya penyimpanan jangka
panjang
Solusi pengolahan untuk mengurangi akrilamida
Terkait persiapan pengolahan kentang menjadi produk pangan, ada serangkaian tahapan yang
dapat diterapkan. Setelah proses penyimpanan jangka panjang pada suhu penyimpanan yang disarankan,
sebaiknya kentang diberi perlakuan reconditioning pada suhu 15℃ selama dua hingga tiga minggu. Hal
ini ditujukan untuk menginduksi kembali pembentukan senyawa karbohidrat kompleks, sebagai upaya
antisipasi jika selama penyimpanan terjadi perombakan menjadi gula pereduksi (Gambar 1).
Setelah reconditioning dapat dilakukan proses blanching, yaitu pemanasan cepat pra pengolahan bahan pangan yang ditujukan untuk memperbaiki mutu produk. Perlakuan blanching berguna untuk menghilangkan gula pereduksi dan asam amino asparagin yang terdapat pada permukaan kentang dengan menonaktifkan enzim tertentu. Hal ini diharapkan mampu mengurangi kadar akrilamida yang terbentuk selama proses penggorengan. Selain itu menggoreng hingga kentang menjadi sangat kecokelatan sebaiknya mulai dihindari, sebab warna tersebut menjadi indikasi terbentuknya akrilamida (Gambar 3). Solusi yang dapat dilakukan adalah beralih untuk menghasilkan kentang goreng dengan warna kuning keemasan.
Serangkaian upaya penanganan sejak penanaman hingga menjelang proses penggorengan kentang diharapkan mampu mengurangi jumlah akrilamida pada produk pangan. Perkembangan teknologi genetika terus dikembangkan, untuk menghasilkan varietas kentang dengan ketahanan yang baik aat penyimpanan suhu rendah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para civitas akademika untuk turut berkontribusi menghasilkan teknologi baik untuk mengendalikan pembentukan prekursor akrilamida saat penanaman, penyimpanan, hingga menjelang proses penggorengan. Poin pengendalian yang dapat dilakukan pada industri adalah melakukan penyimpanan serta penggorengan pada suhu yang dianjurkan. Upaya ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi nyata dalam mencegah atau mengurangi konsumsi pangan yang mengandung senyawa toksik akrilamida. Adapun dari lingkup konsumen, dengan meningkatnya antusias akan konsumsi pangan menyehatkan, diharapkan mampu menjadikan konsumen untuk semakin bijak mengombinasikan konsumsi produk kentang goreng dengan produk pangan berserat yang beragam jumlah dan ragamnya.
Referensi:
Brunton N, Ronan, G., Francis, B., Enda, C., Martin, D., dan Michael, O.K. 2006. Acrylamide Formation in Potato Products. Gerard, D. Editor.
EFSA. 2015. Acrylamide in Food. Tersedia pada: http://www.efsa.europa.eu/sites/default/files/corporate_publications/files/acrylamide150604.pdf
FAO. 2009. Code Of Practice for The Reduction Of Acrylamide In Foods. Tersedia pada: http://www.fao.org/input/download/standards/11258/CXP_067e.pdf.
FDA (Food and Drug Administration). 2016. Guidance for Industry Acrylamide in Foods. Tersedia pada: https://www.fda.gov/downloads/food/ucm374534.pdf
Hubert J, Gupta, P.H., Patel, N.J., Shah, A.K., dan Talati, J.G. 2016. Effect Of Storage Temperature On Carbohydrate Metabolism And Development Of Cold-Induced Sweetening In Indian Potato (Solanum Tuberosum L.) Varieties. Journal Of Food Biochemistry:40: (71-83)
Jin YI , Kyeong-Hun, P., Dong-Chil, Chang ., Ji-Hong, C., Kwang-Su, Co., Ju-Sung, I, Su-Young, H ., Su-Jeong, K., Jung-Hwan, N., Hwang-Bae, S., Hong-Seob, Y., dan Ill-Min, C. 2016. Factors Influencing the Acrylamide Content of Fried Potato Products. Korean J Environ Agric. 2016:35(4):247-255
0 komentar