Masih ingatkah kita tentang salah satu cita-cita bangsa yang hingga saat ini masih kita perjuangkan? Mari kita mencoba menyelami kembali pesan tersurat yang tertuang dalam UU Pangan No.18 Tahun 2012, Pasal 1 Ayat 4 yang berbunyi “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”. Tak hanya terpenuhinya ketersediaan pangan yang merata, salah satu intisari dari petikan ayat UU Pangan diatas adalah terciptanya generasi yang produktif melalui pangan sehat dan aman.
Manusia yang produktif diharapkan mampu berpikir kreatif, inovatif, dapat bersaing dan berkontribusi secara optimal dalam pembangunan negeri dalam jangka waktu lama. Namun produktivitas dalam melaksanakan suatu tanggung jawab tentu tak dapat dicapai, jika masyarakatnya tak sehat. Kesehatan lalu menjadi salah satu syarat mutlak agar pembangunan negeri tidak tersendat ditengah jalan. Oleh karenanya bahan pangan sebagai pasokan energi utama berperan besar dalam menunjang produktivitas, yang sedikit banyaknya perlu diilmui oleh konsumen. Tentu tidak mengapa jika berawal dari prinsip sederhana misalnya pemahaman bahwa pencucian berlebih dapat menghilangkan vitamin larut air seperti vitamin C dan vitamin B kompleks. Selain itu juga tidak kikuk ketika memperoleh berita pangan yang meresahkan misalnya, menelusuri pangan kalengan yang diduga mengandung cacing hidup.
Jika dipahami bahwa makanan kalengan telah melalui tahapan pemanasan suhu tinggi, maka secara otomatis konsumen cerdas meyakini bahwa keberadaan cacing hidup pastilah akibat kontaminasi pasca produksi.
Berbeda dengan konsumen, pemahaman pangan bagi mereka yang berkutat langsung dalam proses penyediaan produk pangan baik dalam level menengah maupun komersial adalah sebuah kewajiban. Kecacatan dalam memahami ranah produksi pangan tentunya akan berimbas pada kualitas produk. Terlebih lagi pemahaman yang baik untuk menggagas produk pangan yang berkualitas dari segi keamanan dan nutrisi, tentu tak bisa dipandang hanya pada aspek tertentu saja namun seyogyanya mencakup from farm to table dan menjadi persyaratan utama yang tak boleh ditawar-tawar lagi.
Berbeda dengan konsumen, pemahaman pangan bagi mereka yang berkutat langsung dalam proses penyediaan produk pangan baik dalam level menengah maupun komersial adalah sebuah kewajiban. Kecacatan dalam memahami ranah produksi pangan tentunya akan berimbas pada kualitas produk. Terlebih lagi pemahaman yang baik untuk menggagas produk pangan yang berkualitas dari segi keamanan dan nutrisi, tentu tak bisa dipandang hanya pada aspek tertentu saja namun seyogyanya mencakup from farm to table dan menjadi persyaratan utama yang tak boleh ditawar-tawar lagi.
Produk pangan tentu berawal dari serangkaian aktivitas pascapanen yang merupakan tindakan pertama setelah optimalisasi pra panen. Tanpa pemahaman yang mumpuni, sebut saja buah menjadi sangat riskan mengalami penurunan mutu jika terkena gesekan keras. Luka yang terbentuk menjadi akses mikroba pembusuk untuk menurunkan kesegaran dan masa simpan. Teknologi penanganan, serta penyimpanan berdasarkan suhu penyimpanan terbaik merupakan salah satu upaya yang diterapkan untuk mempertahankan mutu hingga jangka waktu tertentu.
Lebih lanjut proses pengolahan pangan terkait juga dengan pemahaman mengenai prinsip teknik serta kimia pangan sebab menjadi modal besar yang memudahkan para praktisi untuk memanipulasi dan menghasilkan misalnya saja produk pangan fungsional yang aman, sehingga senyawa yang berfaedah bagi tubuh dapat dipertahankan (tidak rusak) meski telah melalui serangkaian proses pengolahan, yang disisi lain juga mampu membunuh mikroba pembusuk dan patogen (penyebab penyakit). Pangan fungsional masih akan menjadi primadona jangka panjang sebab mengandung komponen serat maupun senyawa bioaktif tertentu yang berkhasiat, misalnya sebagai antikanker, antioksidan, andiabetes, antihipertensi, hingga antidepresi.
Lebih lanjut proses pengolahan pangan terkait juga dengan pemahaman mengenai prinsip teknik serta kimia pangan sebab menjadi modal besar yang memudahkan para praktisi untuk memanipulasi dan menghasilkan misalnya saja produk pangan fungsional yang aman, sehingga senyawa yang berfaedah bagi tubuh dapat dipertahankan (tidak rusak) meski telah melalui serangkaian proses pengolahan, yang disisi lain juga mampu membunuh mikroba pembusuk dan patogen (penyebab penyakit). Pangan fungsional masih akan menjadi primadona jangka panjang sebab mengandung komponen serat maupun senyawa bioaktif tertentu yang berkhasiat, misalnya sebagai antikanker, antioksidan, andiabetes, antihipertensi, hingga antidepresi.
Tentu saja pangan
fungsional bukan tablet apalagi suplemen diet, namun berupa pangan utuh yang
dapat dikonsumsi seperti biasanya tanpa resep dokter. Hal ini diungkapkan oleh
Suter (2013), bahwa pangan fungsional ke depannya akan sangat berkembang
dikalangan masyarakat yang mulai peduli untuk memperbaiki imunitas tubuh,
menghambat penuaan, serta mempertahankan kebugaran, sehingga pengembangannya
akan menguntungkan banyak pihak termasuk industri dan pemerintah.
Pangan fungsional menjadi salah satu alternatif untuk terbebas
dari gizi buruk maupun kelebihan gizi yang memicu masalah kesehatan yang tak
kalah kompleks. Pangan fungsional dapat berupa buah-buahan, sereal, dan beragam
pangan segar maupun olahan yang selain kandungan gizi, diharapkan komponen non
gizi (serat) dan bioaktifnya dapat berkontribusi meningkatkan performa tubuh.
Palupi (2018) mengungkapkan bahwa pangan fungsional harus mampu memberi manfaat
bahkan hingga pada level pencegahan suatu penyakit, selain sebagai fungsi
dasarnya sebagai penyedia zat.
Namun klaim pangan fungsional bukan perkara
mudah, terlebih dahulu produk yang akan dirilis harus melalui pengujian ilmiah
yang dapat membuktikan khasiat suatu senyawa apabila dikonsumsi dalam diet
manusia. Oleh karena itu pengetahuan biokimia pangan akan sangat berkontribusi
dalam menganalisa respon sel tubuh terhadap upaya penurunan resiko kesehatan
yang diujikan. Jika tidak, produsen hanya dapat menginformasikan manfaat
senyawa aktif tertentu tanpa menjanjikan iming-iming kesehatan yang belum lulus
uji kepada konsumen.
Salah satu contohnya adalah pengembangan pangan fungsional
berbasis Umbi (indigenous food) yang diharapkan dapat memberi efek
antidiabetes. Melalui teknologi heat moisture treatment (HMT),
ikatan kimia pada karbohidrat kompleks dibuyarkan sehingga menjadi lambat
dicerna. Produknya dapat berbentuk mi, bihun, maupun flakes.
Sentuhan teknologi akan meningkatkan nilai ekonomi dari komoditi yang
diharapkan mampu bersaing hingga level internasional. Namun tentu harus melalui
pengujian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kusnandar (2010)
mengungkapkan bahwa pati lambat cerna atau pati resisten melalui teknologi HMT
mampu menurunkan indeks glikemik sehingga gula darah tak melonjak jumlahnya.
Pentingnya pemahaman tentang pangan menjadi modal awal merintis
ketahanan kita sejak dini dan untuk masa depan, sebab akan memudahkan dalam
mengolah sekumpulan komoditi menjadi produk yang menggugah selera dan
menyehatkan. Pangan fungsional berbasis pangan lokal diharapkan memicu
tumbuhnya kemandirian pangan sehingga jika ditunjang dengan edukasi kepada
masyarakat, serta komitmen memproduksi pangan aman dan sehat, maka perlahan
ketahanan pangan tidak mustahil untuk terealisasikan. Tentunya ini diharapkan tak
berakhir pada sebuah wacana semata. Melalui pemahaman yang baik, para ilmuwan,
teknolog, dan pelaku industri pangan secara otomatis turut andil mewujudkan
produktivitas masyarakat sehingga jumlah yang sakit dapat ditekan, yang sehat
dapat meningkat dan berkontribusi optimal membangun negeri secara
berkelanjutan.
Ditulis oleh Rizki Aristyarini
Dipublish kembali.
Artikel asli: http://parepos.fajar.co.id/2018/06/pemahaman-pangan-bekal-pokok-wujudkan-ketahanan-pangan/
Tags :
Pangan
0 komentar