Sekilas tentang: Sistem Resi Gudang untuk Hasil Panen Petani
A.
Sistem
Resi Gudang
Saat panen raya, seringkali harga
produk pertanian terlalu rendah sehingga menyebabkan petani merugi dan tidak
lagi antusias untuk memanen. Hal ini tentu berkaitan dengan biaya panen yang
harus dikeluarkan oleh petani jauh lebih besar dari harga produk hasil
pertanian. Ditambah lagi dengan upaya penanganan hasil pertanian yang memiliki
volume yang besar, mudah rusak, memakan tempat, serta produksi yang sifatnya
musiman. Hal ini berimbas pada terjadinya jatuh pada komunitas pertanian (Muhi
2011).
Menyikapi hal tersebut disahkanlah
sebuah UU No. 9 Tahun 2006 yang mencakup tentang sistem resi gudang.
Undang-undang tersebut diamandemen yang kemudian menjadi UU No. 9 Tahun 2011.
Melalui UU tersebut diketahui bahwa, sistem resi gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Sementara resi
gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang
yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Jika dikerucutkan meliputi bidang
pertanian, maka sistem resi gudang didefinisikan sebagai bukti kepemilikan akan
suatu barang yang disimpan oleh petani di gudang, yang barang tersebut dapat
dialihkan bahkan diperjualbelikan. Resi
gudang terdiri atas resi gudang yang dapat diperjualbelikan (memuat
perintah penyerahan suatu barang kepada orang yang memegang resi gudang, atas
intruksi pihak tertentu), dan resi gudang yang tidak dapat diperjualbelikan
(memuat aturan bahwa barang yang disimpan hanya
dapat diserahkan kepada penerima yang telah ditetapkan). Jadi petani
menjamin produknya
melalui resi gudang, dan resi gudang tersebut dapat digunakan kelak sebagai
jaminan atas kredit dari perbankan maupun non perbankan (Ashari 2012).
Adanya resi gudang dapat dimanfaatkan sebagai
solusi atas melimpahnya hasil panen komoditas tertentu, pada masa panen yang
juga berbeda-beda (Ashari 2012). Penerapan sistem resi gudang berpotensi
menghasilkan banyak manfaat bagi petani misalnya diperolehnya harga yang lebih
baik (dengan menunda waktu penjualan), memperoleh pembiayaan dengan cara yang
mudah, dan adanya kepastian tentang kualitas serta kuantita barang yang akan
disimpan. (Bappebti 2011).
Penerapan sistem resi gudang di
Indonesia juga menuai beberapa kendala misalnya jumlah gudang penyimpanan
hasil-hasil pertanian yang masih terbatas, ketidaksabaran para petani terkait
sistem tunda jual produk hasil pertaniannya, serta masih minimnya sosialisasi
tentang manfaat serta potensi sistem resi gudang di daerah potensial penghasil
komoditas tertentu (Aryani 2008). Meskipun demikian telah diupakan sosialisasi
tersebut diantaranya sosialiasi yang dilakukan oleh kemendag kepada mahasiswa
Universitas Pajajaran, serta para
petani di Grobogan, Jawa Timur (Bappebti 2014).
B. Penerapan
Sistem Resi Gudang
Pada tahun 2010 Sistem resi gudang
sudah mulai dikembangkan dibeberapa daerah misalnya Banyuwangi, Sidrap, dan
Kabupaten Pinrang. Sebelumnya pada tahun 2008 hingga 2009 penerapannya hanya
terbatas pada daerah percontohan seperti kabupaten Gowa dan Indramayu (Putri
2012).
Sebuah studi dilakukan oleh
Listiani dan Haryotejo (2013), terkait implementasi sistem resi gudang yang
diterapkan di kabupaten Tuban, Jawa Timur. Komoditas yang paling banyak
diproduksi di Tuban adalah jagung. Kabupaten Tuban telah mendapatkan satu
gudang yang merupakan milik pemerintah
daerah, yang telah menerapkan sistem resi gudang terkhusus pada komoditi
jagung. Petani yang memanfaatkan sistem resi gudang adalah mereka yang berlatar
belakang pedagang dan mempunyai paling sedikit satu hektar luas lahan dari
kebun. Adapun yang belum memanfatkan sistem resi gudang adalah petani kecil
yang hasil produksinya paling besar adalah sebanyak 3 ton. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor utama
yang cukup menarik petani untuk menerapkan sistem resi gudang adalah dukungan
pemerintah, dan transparansi informasi kepada petani jika ada yang berminat
membeli jagungnya. Gudang yang digunakan dilengkapi dengan alat pengering (dryer), namun hanya dapat difungsikan untuk
gabah. Sementara untuk khusus jagung masih diupayakan. Hal ini menjadi penting
sebab kadar air menjadi salah satu parameter yang menentukan kualitas jagung
yang akan dijual.
Keterangan:
Manfaat
Ekonomi
A.
Keuntungan petani; B. Keuntungan Pembiayaan lainnya yang cepat dan mudah C.
Dapat diagunkan
Manfaat
Non Ekonomi
A.
Kekuatan tawar B. Kepastian kualitas dan kuantitas barang yang dijaminkan C.
Dapat dijadikan alat tukar barang
Biaya
Ekonomi
A.
Biaya administrasi dan penyimpanan B. Margin yang kecil C. Jaminan stol
gudang tidak layak karena suku bunga
yang lebih tinggi
Biaya
Non Ekonomi
A.
Waktu pengurusan dan prosedur yang berbelit B. Fasilitas gudang yang tidak
memenuhi standar C. Hasil produksi yang tidak memenuhi persyaratan untuk
digudangkan
Penerapan sistem resi gudang oleh
petani di kabupaten Tuban diawali dengan pengecekan kualitas jagung terkait
kelayakannya untuk disimpan digudang. Pihak pengelola gudang akan menghubungi
UPT Penguji Sertifikat Mutu Barang untuk mengecek persentasi kadar air, abnormal dari segi
warna, biji pecah, serta kotoran-kotoran. Kualitas menjadi penting sebab akan mempengaruhi
harga yang akan dituliskan dalam resi. Setelah lolos uji, akan dilakukan survei
oleh pihak bank, dan dalam waktu dua hari akan terbit resi serta perncairan
dana. Petani akan mendapatkan dana senilai 70% dari total harga jagung yang
dititipkan di gudang
dengan harga yang berlaku dipasaran.
Berdasarkan Gambar 1, ditunjukkan bahwa umumnya
penerapan sistem resi gudang
di kabupaten Tuban lebih menggambarkan persepsi akan keuntungan dibandingkan dalam hal biaya. Persepsi manfaat yang diperoleh petani yakni dari sisi keuangan pada keuntungan petani (pembiayaan mudah dan cepat), dan resi yang ada dapat diagunkan serta diperjualbelikan. Persepsi pertama sebesar 17,62% menunjukkan bahwa petani menganggap penundaan penjualan akan memberikan keuntungan lebih baik dari pada menjualnya langsung pada saat panen. Persepsi kedua (16,29%) adalah mekanisme gudang yang dianggap tidak rumit, sebab petani cukup membawa produk dan langsung dilakukan pengecekan kualitas kelayakan penyimpanan.
di kabupaten Tuban lebih menggambarkan persepsi akan keuntungan dibandingkan dalam hal biaya. Persepsi manfaat yang diperoleh petani yakni dari sisi keuangan pada keuntungan petani (pembiayaan mudah dan cepat), dan resi yang ada dapat diagunkan serta diperjualbelikan. Persepsi pertama sebesar 17,62% menunjukkan bahwa petani menganggap penundaan penjualan akan memberikan keuntungan lebih baik dari pada menjualnya langsung pada saat panen. Persepsi kedua (16,29%) adalah mekanisme gudang yang dianggap tidak rumit, sebab petani cukup membawa produk dan langsung dilakukan pengecekan kualitas kelayakan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, R.R. 2008. Sistem Resi Gudang
akan Diberlakukan Nasional. Tersedia pada: https://bisnis.tempo.co/read/121425/sistem-resi-gudang-akan-diberlakukan-nasional
Ashari. 2012. Potensi dan Kendala Sistem
Resi Gudang untuk Mendukung Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi:29:(2): 129-143
Bappebti. 2011. Sistem Resi Gudang sebagai Instrumen
Pembiayaan. Tersedia pada: https://www.bappebti.go.id/
Listiani, N. Dan B. Haryotejo. 2013.
Implementasi Sistem Resi Gudang pada Komoditi Jagung: Studi Kasus di Kabupaten
Tuban, Provinsi Jawa Timur. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan:7: (2)
Muhi, H.A. 2011. Fenomena Pembangunan
Desa. Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinagor. Tersedia pada: http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/FENOMENA-PEMBANGUNAN-DESA2.pdf
Putri, N.P. 2012. Sistem Resi Gudang
Solusi Bagi Petani: Tersedia pada: https://www.bappebti.go.id/id/topdf/create/1044.html.
UU No. 9. 2011. Sistem Resi Gudang.
Tersedia pada: http://regulasi.kemenperin.go.id/site/download_peraturan/165
0 komentar