APLIKASI PERUBAHAN KIMIA PANGAN "EVALUASI MUTU MINYAK GORENG"
EVALUASI MUTU MINYAK GORENG
KELOMPOK I
ANGGOTA:
1. HASRULLAH (G311
11 002)
2. STEVANO WILLIAM K (G311
09 279)
3. me ^^
4. SHINTA REGIA BANGKE (G311
11 257)
5. KHAIRA SAKINAH JUFRI (G311
11 262)
6. MUZDALIFA HUSNAH (G311
11 904)
ASISTEN : 1. RESKIATI WIRADHIKA ANWAR, STP.
2. NUR AZIZAH AMIN
3. MUKARRAMAH LUBIS
LABORATORIUM KIMIA
ANALISA DAN PENGAWASAN MUTU PANGAN
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
A.
Minyak Kelapa Sawit
Minyak sawit merupakan salah satu dari sekitar 17 jenis minyak makan yang diperdagangkan secara
global. Di pasar pangan dunia, minyak sawit bisa ditemukan sebagai ingredient pada satu dari setiap 10 produk pangan yang diperdagangkan. Tanaman kelasa sawit mempunyat
persayaratan optimum tumbuh pada daerah sekitar ekuator yang bersifat tropis dan basah (humid, dengan
RH ~ 85%), dengan suhu berkisar 24-32°C sepajang tahun, sinar matahari
melimbah, curah hujan tinggi (~ 2,000 mm) (Anonim, 2012a).
Di dalam memilih
kelapa sawit ada beberapa sifat-sifat dan keunggulan yang ada didalamnya menurut
Hariyadi (2012), yaitu :
1. Minyak sawit telah lama dikenal sebagai minyak yang
aman
Tanaman ini telah dikenal sebagai penghasil minyak
sawit, minyak alami yang telah dikonsumsi manusia sejak lama. Catatan arkeologi yang ditemukan di Abydos,
Mesir, memberikan gambaran bahwa minyak sawit telah digunakan sejak sekitar
5.000 tahun yang lalu. Pemakaian di negeri asalnya
sendiri, diperkirakan bisa lenih lama dari itu. Sejarah penggunaan minyak sawit yang sedemikian panjang dan menyebar ke berbagai negara,
itu menunjukkan bahwa minyak sawit dikenal dan
dipercaya masyarakat sebagai minyak yang aman.
2. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak utama
Berbeda dengan jenis tanaman penghasil minyak lainnya,
kelapa sawit menghasilkan dua (2) jenis minyak; yang kedua-duanya bisa diproses
dan diolah menjadi aneka jenis produk turunannya. Buah kelapa sawit merupakan buah yangn kaya
dengan minyak. Dalam tandan buah sawit
yang dipanen, terdiri dari kulit dan tandan (29%), biji atau inti sawit (11%),
dan daging buah (60%). Proses pengepresan
daging buah sawit akan menghasilkan
minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO) dan inti sawit akan menghasilkan minyak inti sawit
kasar (crude palm kernel oil, CPKO); Kedua jenis minyak ini; CPO dan CPKO
mempunyai karakteristik kimia dan gizi unik yang berbeda. Pada prakteknya, dibandingkan CPKO, CPO lebih
banyak diproses lanjut menjadi minyak goreng, yang sering disebut sebagai
minyak sawit.
3. Minyak sawit mempunyai aplikasi yang sangat luas
Minyak sawit berpotensi untuk digunakan dalam berbagai
aplikasi yang sangat luas dan beragam; baik sebagai pangan, maupun untuk
keperluan nonpangan. Dalam bidang
pangan, minyak sawit banyak digunakan sebagai
minyak goreng, shortening, margarin,
vanaspati, cocoa butter substitutes, dan berbagai ingridien pangan
lainnya. Aplikasi dalam bidang
non-pangan juga terus berkembang, terutama sebagai oleokimia, biodiesel, dan
berbagai ingridien untuk berbagai industri non-pangan, misalnya untuk industri
farmasi. Namun demikian, aplikasi utamanya masih dalam bidang pangan. Berikut
adalah beberapa keunggulan minyak sawit pada aplikasinya untuk keperluan pangan:
a) Produk pangan yang diformulasikan dengan menggunakan
minyak sawit akan mempunyai keawetan yang lebih baik, karena minyak sawit
sangat stabil terhadap proses ketengikan dan kerusakan oksidatif lainnya. Karena alasan itu maka minyak sawit merupakan
minyak goreng terbaik.
b) Minyak sawit mempunyai
kecederungan untuk mengalami kristalisasi
dalam bentuk kristal kecil b′, sehingga mampu meningkatkan kinerja creaming
jika digunakan pada formulasi
cake dan margarin.
c) Kandungan asam palmitat minyak sawit sangat baik untuk
proses aerasi campuran lemak/gula;
misalnya pada proses baking.
d) Minyak sawit baik
digunakan untuk
membuat vanaspati,
atau vegetable ghee, yang mengandung 100% lemak
nabati;
bisa digunakan untuk substitusi mentega
susu dan mentega coklat.
e) Roti yang diproduksi dengan shortening dari minyak
sawit, mempunyai tekstur dan keawetan yang lebih baik. Minyak sawit juga banyak
dipakai untuk produksi krim biskuit; terutama karena kandungan padatan dan
titik lelehnya yang cukup tinggi.
B.
Minyak Goreng
Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, dan
penambah
nilai kalori. Menurut SNI 01-3741-2002
(BSN, 2002), minyak goreng didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan
cara memurnikan minyak makan nabati. Minyak nabati merupakan minyak yang diperoleh
dari serealia (jagung, gandum, beras, dan lain-lain),
kacang-kacangan (kacang kedelai, kacang tanah, dan lain-lain), palma-palmaan
(kelapa dan kelapa sawit), dan biji-bijian (Nugraha, 2004).
Tidak semua minyak nabati dapat dipakai untuk menggoreng.
Minyak yang termasuk golongan setengah mengering (semi drying oil) misalnya minyak biji kapas, minyak
kedelai, dan minyak biji bunga matahari tidak dapat digunakan
sebagai minyak goreng. Hal ini disebabkan karena jika minyak tersebut kontak dengan udara pada suhu tinggi akan mudah teroksidasi sehingga berbau
tengik. Minyak yang dipakai menggoreng
adalah
minyak yang tergolong dalam kelompok non drying oil, yaitu minyak yang tidak akan membentuk
lapisan keras bila dibiarkan mengering di udara (Ketaren,
2008).
Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen asam lemaknya karena
asam lemak tersebut akan mempengaruhi
sifat fisik, kimia, dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Trigliserida dari suatu minyak atau lemak mengandung sekitar 94-96% asam lemak. Selain komponen asam
lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi
pula derajat
ketidakjenuhan asam lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak goreng yang terdapat secara alami atau yang sengaja
ditambahkan (Stier, 2003).
Mutu minyak goreng ditentukan pula oleh titik asapnya, yaitu
suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat
menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Bila minyak mengalami pemanasan yang
berlebihan, gliserol akan mengalami kerusakan dan kehancuran dan minyak
tersebut segera mengeluarkan asap biru yang sangat mengganggu lapisan selaput
mata. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin
tinggi titik asap, makin tinggi mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak
goreng tergantung dari kadar gliserol bebasnya. Lemak
yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan menurun,
karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya
dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi
dari seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan adalah 177-221°C (Winarno, 2004).
Minyak goreng yang telah digunakan berulang kali atau yang lebih
dikenal dengan minyak jelantah adalah minyak limbah. Minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya,
dapat digunakan kembali untuk keperluaran kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari
komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung
senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik,
yang terjadi selama
proses penggorengan (Anonim, 2012b).
Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan
oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002,
SNI ini merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995,
menetapkan bahwa standar mutu minyak goreng seperti pada Tabel 1 berikut ini:
Pemilihan minyak goreng tergantung pada banyak faktor seperti ketersediaan, performa
penggorengan, aroma, dan kestabilan produk pada saat penyimpanan. Memilih minyak goreng ada beberapa syarat yang perlu
diperhatikan menurut Mohamed Sulieman et
al (2001), yaitu:
1.
Minyak goreng harus
memiliki umur pakai yang lama dan ekonomis.
2.
Tahan terhadap tekanan
oksidatif.
3.
Memiliki kualitas
seragam.
4.
Mudah untuk digunakan,
baik dari segi bentuk (fluid shortening lebih mudah dari pada solid shortening)
maupun dari kemudahan pengemasan.
5.
Memiliki titik asap yang
tinggi dan kandungan asapnya rendah setelah digunakan untuk menggoreng.
6.
Mengandung flavor alami dan tidak menimbulkan off
flavor pada produk yang digoreng.
7.
Mampu menghasilkan
tekstur, warna, dan tidak menimbulkan pengaruh
greasy pada permukaan produk.
A.
Sifat-Sifat Minyak
Sifat-sifat minyak
goreng dibagi ke sifat fisik dan kimia. Sifat fisik terdiri dari warna, odor
dan flavor,
kelarutan, titik cair dan
polymorphism, titik didih (boiling point), titik lunak (softening point), slipping
point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias, titik asap, dan titik kekeruhan (turbidity point). Sedangkan sifat kimia terdiri dari hidrolisa,
oksidasi, hidrogenasi, dan esterfikasi (Hariyadi, 2012).
Zat warna dalam minyak terdiri dari dua golongan yaitu zat
warna alamiah dan warna dari
hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna yang tergolong zat warna alamiah yaitu zat warna
yang secara
alamiah didalam
bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses
ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain terdiri dari α dan β karoten, xantofil,
klorofil, dan antosianin, zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecokelatan,
kehijau-hijauan dan kemerahan-merahan. Pigmen berwarna merah jingga atau kuning
disebabkan oleh karotenoid yang bersifat
larut dalam minyak. Karotenoid merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh. Jika minyak
dihidrogenasi karoten tersebut juga ikut
terhidrogenasi, sehingga intensitas warna kuning berkurang. Karotenoid bersifat tidak stabil pada
suhu tinggi, dan jika
minyak dialiri uap panas, maka warna kuning akan hilang. Karotenoid tersebut
tidak dapat dihilangkan dengan proses oksidasi (Ketaren, 2008).
Golongan kedua yaitu
zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Warna
cokelat disebabkan oleh bahan untuk membuat minyak yang telah busuk atau rusak,
warna kuning umumnya terjadi pada minyak tidak jenuh (Hariyadi, 2012).
Warna gelap dapat terjadi selama proses pengolahan dan
penyimpanan, yang disebabkan oleh suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu
pengepresan dengan cara hidraulik atau expeller,
sehingga sebagian minyak teroksidasi. Disamping
itu minyak yang terdapat
dalam suatu bahan, dalam keadaan
panas akan mengektsraksi zat warna yang
terdapat dalam bahan tersebut. Pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan
dan suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan minyak dengan warna
yang lebih gelap. Logam Fe, Cu, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak dingin dalam
minyak (Ketaren, 2008).
Pengukuran warna telah digunakan sebagai parameter kualitas
minyak goreng. Namun, warna tidak dapat digunakan sebagai indikator degradasi
atau kerusakan minyak. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya korelasi antara
perubahan warna minyak
goreng dengan hasil degradasi minyak goreng yang mempengaruhi kualitas produk akhir.
Warna minyak goreng yang telah digunakan berulang kali lebih gelap
dibandingkan minyak goreng
segar. Hal ini disebabkan
senyawa-senyawa hasil degradasi minyak
goreng akibat pemanasan (Blumenthal, 1996).
Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena
pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek. Kelarutan, minyak tidak
larut dalam air kecuali minyak jarak (castor
oil), dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfida
dan pelarut-pelarut halogen. Titik cair dan polymorphism,
minyak tidak mencair dengan tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan dimana
terdapat lebih dari satu bentuk kristal. Titik didih (boiling point), titik didih akan semakin meningkat dengan bertambah
panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut. Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak tersebut. Sliping point, digunakan untuk
pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya. Shot melting point, yaitu temperatur
pada saat terjadi tetesan pertama dari minyak atau lemak. Bobot jenis, biasanya
ditentukan pada temperatur 25°C, dan juga perlu dilakukan pengukuran pada temperatur 40°C. Titik asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan
apabila minyak dipanaskan. Merupakan kriteria mutu yang penting dalam
hubungannya dengan minyak yang akan digunakan untuk menggoreng. Titik kekeruhan
(turbidity point), ditetapkan
dengan cara mendinginkan
campuran minyak dengan pelarut
lemak (Hariyadi, 2012).
B.
Perubahan Sifat Fisiko Kimia
Selama Proses Penggorengan
Selama penggunaan umumnya minyak mengalami perubahan
sifat fisiko kimia akibat pemanasan pada suhu tinggi. Hal ini mengakibatkan
terjadinya kerusakan minyak dan menurunkan mutu serta nilai gizinya. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana mutu minyak yang
digunakan dalam proses penggorengan komersial. Sampel diambil l dari pedagang
makanan gorengan, yaitu pedagang ayam goreng dan tahu-tempe goreng. Analisis
mutu yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengamatan kekentalan dan indeks
bias, analisis bilangan peroksida, asam lemak bebas (bilangan asam), bilangan
TBA, bilangan iod, fraksi NAF dan identifikasi asam lemak dengan kromatografi
gas. Hasil pengamatan pada tempat-tempat pedagang makanan gorengan menunjukan
bahwa masalah-masalah seperti desain digunakan dan perlakuan minyak goreng
bekas, umumnya kurang mendapat perhatian. Hasil analisis mutu pada minyak
goreng segar yang digunakan, umumnya masih dalam batas-batas yang ditetapkan
dalam SII untuk minyak
goreng. Hasil analisis mutu pada minyak yang sudah digunakan
menunjukan adanya perubahan sifat fisiko-kimia minyak yaitu kenaikan
kekentalan, kenaikan indeks bias, kenaikan bilangan peroksida,
kenaikan kandungan asam lemak bebas, kenaikan
bilangan TBA, penurunan
bilangan iod dan kenaikan fraksi NAF. Minyak hasil 1 gorengan ayam mengalami kerusakan yang
relatif lebih besar dibandingkan dengan
minyak hasil gorengan tahu-tempe. Dari hasil 1 analisis menunjukan bahwa sampai pada proses penggorengan hari ke 6 minyak sudah mengalami kerusakan tetapi belum sampai pada taraf yang
membahayakan kesehatan (Priyatno,1991).
Proses
pemanasan minyak goreng akan menimbulkan sejumlah perubahan pada sifat fisik
dan kimianya. Perubahan sifat fisik pada minyak selama penggorengan menyebabkan
minyak jadi lebih kental, perubahan warna lebih cair, penurunan titik cair,
serta terbentuknya busa selama penggorengan. Sedangkan kerusakan kimia meliputi
polimerisasi, hidrolisis, atau oksidasi yang merusak vitamin yang terkandung
dalam minyak (Spiritual, 2012).
C.
Total
Polar Material (TPM)
Minyak goreng yang telah
digunakan untuk menggoreng akan mengandung komponen polar yang umumnya disebut
dengan materi polar. Materi polar ini terbentuk diakibatkan adanya reaksi kimia
kompleks pada minyak goreng, seperti hidrolisa, oksidasi, dan polimerisasi.
Materi polar ini dapat dihitung dengan presentasi total pada setiap minyak
hasil penggorengan dengan simbol TPM (Wiradhika
Anwar, 2012).
Metode penentuan komponen polar memerlukan
waktu 3,5 jam untuk satu
kali analisis. Oleh karena itu,
pada saat ini terdapat sejumlah quick
test komersial, seperti uji konstanta dielektrik yang dihitung menggunakan Food
Oil Sensor (FOS) untuk menghitung komponen polar, Oxifrit formely RAU-test (kolorimetri) untuk menghitung komponen karbonil, spot test (metode kolorimetri) untuk menghitung
ALB, alkaline contaminant material test (metode
kolorimetri) untuk menentukan
penyabunan, dan untuk uji penentuan polar total, ALB, serta alkalin total
menggunakan veri-fry (Hawson, 1995).
Penggunaan minyak goreng
berulang kali memperbesar potensi terkena kanker. Minyak goreng dengan kadar
total total polar material (TPM) sudah mencapai angka 24-27 persen (maksimal
empat kali pemakaian) seharusnya sudah tidak dipakai lagi. Saat minyak goreng
dipakai berulang-ulang maka akan menimbulkan kadar senyawa- senyawa yang dapat
merusak kualitas minyak tersebut. Proses inilah yang membuat makanan mudah
tengik. hal yang dapat ditimbukan diantaranya kegemukan, darah tinggi,
meningkatnya kolesterol dan jantung koroner hingga kanker (Wahyuni, 2008).
D.
Asam Lemak Bebas
Asam lemak
bebas merupakan hasil degradasi dari trigliserida, sebagai akibat dari kerusakan
minyak. Selain itu, asam lemak bebas juga merupakan asam yang dibebaskan dari proses hidrolisis dari lemak (Fauziah,
2011).
Pada
saat melakukan percobaan untuk menentukan angka penyabunan, asam lemak dan asam
lemak bebas dari minyak (sampel) dengan menggunakan NaOH dalam
Alkohol dapat membentuk sabun. Fungsi penambahan alkohol adalah untuk
melarutkan lemak atau minyak dalam sampel agar dapat bereaksi dengan basa
alkali. Karena alkohol yang digunakan adalah untuk melarutkan minyak, sehingga alkohol yang digunakan
konsentrasinya berada dikisaran
95-96%. Fungsi pemanasan (refluks) saat
percobaan adalah agar reaksi antara alkohol danminyak tersebut bereaksi dengan
cepat, sehingga pada saat titrasi diharapkan alkohol (etanol) larut seutuhnya.
Penambahan indikator pp (phenoptalein)
dengan larutan bertujuan untuk dapat memisahkan antara lapisan minyak dengan NaOH dan juga untuk menandakan bahwa larutan tersebut
bersifat basa yang selanjutnya dilakukan dengan cara titrasi, titrasi dilakukan dengan maksud untuk memudahkan pencampuran antara larutan agar bersifat
homogen yang ditandai dengan warna larutan hasil titrasi ialah bening (Wahyuni, 2012).
Penentuan
asam lemak dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari minyak atau lemak,
hal ini dikarenakan bilangan asam dapat dipergunakan untuk mengukur dan
mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam suatu bahan atau sampel. Semakin besar
angka asam maka dapat diartikan kandungan asam lemak bebas dalam sampel semakin
tinggi, besarnya asam lemak bebas yang terkandung dalam sampel dapat
diakibatkan dari proses hidrolisis
ataupun karena proses pengolahan yang
kurang baik. Sampel yang dipergunakan pada saat praktikum ditimbang dalam
keadaan cair, sehingga sampel terlebih dahulu dicairkan, proses pencairan
dilakukan untuk mempermudah proses
titrasi selanjutnya, karena apabila sampel dalam keadaan padat akan menyulitkan
proses titrasi selanjutnya. Dengan
pengecilan ukuran, maka asam lemak yang terkandung dalam bahan
akan lebih banyak keluar
daripada sampel dalam keadaan padat.
Setelah proses penimbangan selesai, selanjutnya adalah penambahan pelarut.
Pelarut yang dipergunakan dalam
praktikum penentuan kadar asam
lemak bebas adalah
alkohol yang harus dalam kondisi panas dan netral. Dalam kondisi yang panas alkohol akan lebih baik dan cepat melarutkan sampel yang juga nonpolar dan kondisi netral dilakukan agar data akhir yang
diperoleh benar-benar tepat. Jika kondisi alkohol yang dipergunakan tidak netral,
maka hasil titrasi asam-basa menjadi
tidak sesuai atau salah. Dalam memanaskan alkohol, dilakukan dengan menggunakan
penangas air, hal ini dilakukan karena titik didih alkohol lebih rendah
daripada air. Proses penetralan alkohol dilakukan dengan tes kualitatif menggunakan
indikator pH universal. Apabila kondisi alkohol terlalu
asam, maka perlu dilakukan dengan penambahan basa lemah. Apabila kondisi alkohol terlalu
basa, maka penambahan asam lemah perlu dilakukan. Pada
titrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N dan indikator yang dipakai adalah phenolphtalein (PP), saat penambahan PP
larutan berubah warna menjadi merah muda, padahal seharusnya larutan tidak
berwarna, hal ini disebabkan terjadi kesalahan, yaitu alkohol yang dipergunakan dalam titrasi tidak dalam kondisi netral, hal ini menyebabkan nilai yang diperoleh menjadi tidak
benar dan jauh dari data yang kedua. NaOH 0,1 N sebelumnya sudah distandardisasi menggunakan asam oksalat, titik
akhir dari titirasi dicapai saat larutan berubah warna dari bening menjadi
merah muda (Julisti, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Minyak Goreng. http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_goreng. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Anonim, 2012a. Minyak Jelantah. http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_jelantah. Diakses pada
tanggal 25September 2012, Makassar.
Anonim, 2012b. Bromelin. http://id.wikipedia.org/wiki/Bromelin. Diakses pada tanggal
25 September 2012,
Makassar.
Anonim
, 2012c. Minyak. http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology. : Romaria, Mayland.
2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak
Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang
Dihasilkan. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/2005/SKRIPSI%20LENGKAP%20A.RESKI%20ARIYANI.docx?sequence=2. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Fauziah. 2011. Asam Lemak Bebas dari Buah Kelapa Sawit. http://free-rawwatertreatment.blogspot.com/2011/05/asam-lemak-bebas-dari-buah-kelapa-sawit.html. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Fransiska,
E., 2010. Minyak
Goreng. http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/20973/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
123456789/20973/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Hariyadi,
Purwiyatno. 2012. Sepuluh keunggulan minyak kelapa sawit http://seafast.ipb.ac.id/article/sepuluh_karakter_minyak_sawit.pdf. Diakses pada tanggal 26 September 2012, Makassar.
Hawson,
H 1995. Foods and Oils Fat : Technology, Utilization, and Nutrition. Chapman
and Hall. New York.
Julisti, Bertha,
2010. Penentuan Angka Penyabunan dan Asam
Lemak Bebas (FFA). http://btagallery.blogspot.com/2010/02/blog-post_4540.html. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Ketaren, S., 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Mohamed Sulieman, Abd El-Rahman, Attya El-Makhzangy, dan
Mohamed Fawzy Ramadan, 2001. Antiradikal
Performance and Physicochemical Characteristics of Vegetable Oils upon Frying
of French Fries: A Preliminary Comparative. Electronic Journal of Environmental,
Agricultural and Food Chemistry. www.ejeafche.uvigo.es. Diakses pada tanggal 22 Februari 2012.
Nugraha, W.S, 2004. Kendali
Adsorben Karbon Aktif dan Magnesium Silikat dalam Efisiensi Pemakaian Minyak
Goreng di Further Processing PT.
Chaeroen Pokhand Indonesia-Serang. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11961/F07rfe.pdf?sequence=4. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Priyatno,
S. 1991. Evaluasi Mutu Minyak Gorengyang
Digunakan dalam Proses Penggorengan Komersial. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/30080/F91SPR_abstract.pdf?sequence=2. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Sutiah,dkk. 2008. Studi Kualitas
Minyak goreng dengan Parameter Viskositas dan IndeksBias.http://eprints.undip.ac.id/2036/1/Studi_Kualitas_Minyak_Goreng_Dengan_Parameter_Viskositas_dan_Indeks_Bias.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Spiritual,J., 2012. Sehat Dimulai dari Minyak. http://www.jawaban.com/news/spiritual/detail.php?id_news=090814175331&off=0. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Stier, R. F., 2003. Finding Functionality in Fat and Oil. www.preparedFood.com. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Wahyuni, Sri.2012. Laporan
Praktikum Ilmu Gizi Penentuan Bilangan Penyabunan Minyak. http://www.scribd.com/doc/98612165/Laporan-Pratikum-Ilmu-Gizi-5. Diakses pada tanggal 25 September 2012, Makassar.
Wahyuni, Tri. 2012. Ingin Sehat? Hindari Jelantah. Tersedia: http://yuniberbagicerita.blogspot.com/2008/08/ingin-sehat-hindarin-jelantah.html. Diakses pada
tanggal 3 Oktober 2012
Winarno, F. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT
Gramedia, Jakarta.
Anwar, Reskiati
Wiradhika. 2012. Studi Pengaruh Suhu dan
Jenis Bahan Pangan terhadap Stabilitas Minyak Kelapa selama Proses
Penggorengan.http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1951/RESKIATI%20WIRADHIKA%20ANWAR%20(G%20611%2008%20276).docx?sequence=. Diakses pada tanggal 25
September 2012, Makassar.
0 komentar