Dukungan itu tidak hanya berdiri dipinggir arena
olahraga sambil meneriakkan nama negara. Lebih dari itu, dukungan kita sebagai tuan rumah penyelenggara perhelatan akbar kompetisi olahraga tingkat Asia perlu
ditanam, dipupuk, agar terus bergelora dalam dada meskipun tanggal 18 masih
menghitung hari untuk sampai di depan mata. Lakukan hal yang kita bisa untuk mendukung,
dengan penuh tanggungjawab dan antusias yang tak berkurang bobotnya. Menyebarkan
pesan singkat tentang euforia Asian Games 1962 saat Indonesia menjadi tuan
rumah untuk kali pertama, ajakan untuk menyambut tamu negara dengan memasang
bendera negara-negara Asia, memajang foto maskot Asian Games si Bhin Bhin,
Kaka, dan Atung diseluruh sosial media sambil memperkenalkan keindahan
budaya Indonesia merupakan contoh dukungan sederhana namun sarat makna. Dan poin
penting yang tak boleh terlupa tentunya adalah dukungan doa tulus untuk kesuksesan
penyelenggaraan dan kemenangan atlet terbaik kebanggaan kita, sesama bangsa
Indonesia.
Tidak terasa pesta olahraga Asian Games 2018
tak lama lagi terselenggara. Rangkaian iringan kirab obor yang menandai dekatnya
tanggal pelaksanaan bahkan telah mencapai tanah Papua, energi Asia telah
menyelami seluruh wilayah Indonesia. Pemuda yang memiliki energi prima sudah
sepantasnya tergelitik nasionalismenya untuk mempersembahkan dukungan
terbaiknya. Ya, pemuda yang menginspirasi mulai dari anak-anak hingga lansia agar
ikut terkobar semangatnya. Jika kita belum bisa berkontribusi secara materi,
maka banyak cara yang dapat dilakukan untuk #dukungbersama. Jika senang
menulis, maka kita dapat menulis ulasan sejarah Asian Games atau olahraga
favorit yang diunggulkan untuk dibagikan dengan banyak orang. Senang fotografi,
momen kemenangan atau antusias masyarakat menyambut Asian Games pun dapat
diabadikan lewat lensa yang kau mainkan. Ayo! temukan versi terbaik dari wujud dukunganmu
agar banyak masyarakat yang turut meniru aksimu untuk #dukungbersama sukseskan
Asian Games ke 18.
12:51 AM
No komentar
Aku takut sendirian
Aku takut kehilangan (lagi)
Aku cemas bukan kepalang
Pikiranku panik
Jiwaku kisut tidak karuan
Apakah hari esok masih berpihak?
Ku rengkuh gulingku, ingin ku lampiaskan saja pada panjangnya malam
Hari yang lalu telah tergulung rapi, tak akan kembali
Hari-hari tak terduga segera datang membuka gulungan yang baru
Tapi hari kemarin masih memelukku erat-erat
Membasahi bola mataku yang tak kuasa menampung alirannya
Seolah menegaskan pada hati kecilku
bahwa Tuhan satu-satunya teman yang setia kapanpun ku ingin mengadu
Saat lapang bahkan kala sedih mulai berhamburan datang
Tangan mungilku tak kuasa menggenggam mu erat-erat
Berjibaku dengan keras kepala dan ego yang menggerayangi
Pada akhirnya hanya dapat ku pandangi
Punggung itu menghilang pelan-pelan
Dan kusadari, sebagian cintaku telah berlalu dalam kegelapan
Sisakan hening yang menyesakkan
10:28 PM
No komentar
A.
Sistem
Resi Gudang
Saat panen raya, seringkali harga
produk pertanian terlalu rendah sehingga menyebabkan petani merugi dan tidak
lagi antusias untuk memanen. Hal ini tentu berkaitan dengan biaya panen yang
harus dikeluarkan oleh petani jauh lebih besar dari harga produk hasil
pertanian. Ditambah lagi dengan upaya penanganan hasil pertanian yang memiliki
volume yang besar, mudah rusak, memakan tempat, serta produksi yang sifatnya
musiman. Hal ini berimbas pada terjadinya jatuh pada komunitas pertanian (Muhi
2011).
Menyikapi hal tersebut disahkanlah
sebuah UU No. 9 Tahun 2006 yang mencakup tentang sistem resi gudang.
Undang-undang tersebut diamandemen yang kemudian menjadi UU No. 9 Tahun 2011.
Melalui UU tersebut diketahui bahwa, sistem resi gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Sementara resi
gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang
yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Jika dikerucutkan meliputi bidang
pertanian, maka sistem resi gudang didefinisikan sebagai bukti kepemilikan akan
suatu barang yang disimpan oleh petani di gudang, yang barang tersebut dapat
dialihkan bahkan diperjualbelikan. Resi
gudang terdiri atas resi gudang yang dapat diperjualbelikan (memuat
perintah penyerahan suatu barang kepada orang yang memegang resi gudang, atas
intruksi pihak tertentu), dan resi gudang yang tidak dapat diperjualbelikan
(memuat aturan bahwa barang yang disimpan hanya
dapat diserahkan kepada penerima yang telah ditetapkan). Jadi petani
menjamin produknya
melalui resi gudang, dan resi gudang tersebut dapat digunakan kelak sebagai
jaminan atas kredit dari perbankan maupun non perbankan (Ashari 2012).
Adanya resi gudang dapat dimanfaatkan sebagai
solusi atas melimpahnya hasil panen komoditas tertentu, pada masa panen yang
juga berbeda-beda (Ashari 2012). Penerapan sistem resi gudang berpotensi
menghasilkan banyak manfaat bagi petani misalnya diperolehnya harga yang lebih
baik (dengan menunda waktu penjualan), memperoleh pembiayaan dengan cara yang
mudah, dan adanya kepastian tentang kualitas serta kuantita barang yang akan
disimpan. (Bappebti 2011).
Penerapan sistem resi gudang di
Indonesia juga menuai beberapa kendala misalnya jumlah gudang penyimpanan
hasil-hasil pertanian yang masih terbatas, ketidaksabaran para petani terkait
sistem tunda jual produk hasil pertaniannya, serta masih minimnya sosialisasi
tentang manfaat serta potensi sistem resi gudang di daerah potensial penghasil
komoditas tertentu (Aryani 2008). Meskipun demikian telah diupakan sosialisasi
tersebut diantaranya sosialiasi yang dilakukan oleh kemendag kepada mahasiswa
Universitas Pajajaran, serta para
petani di Grobogan, Jawa Timur (Bappebti 2014).
B. Penerapan
Sistem Resi Gudang
Pada tahun 2010 Sistem resi gudang
sudah mulai dikembangkan dibeberapa daerah misalnya Banyuwangi, Sidrap, dan
Kabupaten Pinrang. Sebelumnya pada tahun 2008 hingga 2009 penerapannya hanya
terbatas pada daerah percontohan seperti kabupaten Gowa dan Indramayu (Putri
2012).
Sebuah studi dilakukan oleh
Listiani dan Haryotejo (2013), terkait implementasi sistem resi gudang yang
diterapkan di kabupaten Tuban, Jawa Timur. Komoditas yang paling banyak
diproduksi di Tuban adalah jagung. Kabupaten Tuban telah mendapatkan satu
gudang yang merupakan milik pemerintah
daerah, yang telah menerapkan sistem resi gudang terkhusus pada komoditi
jagung. Petani yang memanfaatkan sistem resi gudang adalah mereka yang berlatar
belakang pedagang dan mempunyai paling sedikit satu hektar luas lahan dari
kebun. Adapun yang belum memanfatkan sistem resi gudang adalah petani kecil
yang hasil produksinya paling besar adalah sebanyak 3 ton. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor utama
yang cukup menarik petani untuk menerapkan sistem resi gudang adalah dukungan
pemerintah, dan transparansi informasi kepada petani jika ada yang berminat
membeli jagungnya. Gudang yang digunakan dilengkapi dengan alat pengering (dryer), namun hanya dapat difungsikan untuk
gabah. Sementara untuk khusus jagung masih diupayakan. Hal ini menjadi penting
sebab kadar air menjadi salah satu parameter yang menentukan kualitas jagung
yang akan dijual.
Keterangan:
Manfaat
Ekonomi
A.
Keuntungan petani; B. Keuntungan Pembiayaan lainnya yang cepat dan mudah C.
Dapat diagunkan
Manfaat
Non Ekonomi
A.
Kekuatan tawar B. Kepastian kualitas dan kuantitas barang yang dijaminkan C.
Dapat dijadikan alat tukar barang
Biaya
Ekonomi
A.
Biaya administrasi dan penyimpanan B. Margin yang kecil C. Jaminan stol
gudang tidak layak karena suku bunga
yang lebih tinggi
Biaya
Non Ekonomi
A.
Waktu pengurusan dan prosedur yang berbelit B. Fasilitas gudang yang tidak
memenuhi standar C. Hasil produksi yang tidak memenuhi persyaratan untuk
digudangkan
Penerapan sistem resi gudang oleh
petani di kabupaten Tuban diawali dengan pengecekan kualitas jagung terkait
kelayakannya untuk disimpan digudang. Pihak pengelola gudang akan menghubungi
UPT Penguji Sertifikat Mutu Barang untuk mengecek persentasi kadar air, abnormal dari segi
warna, biji pecah, serta kotoran-kotoran. Kualitas menjadi penting sebab akan mempengaruhi
harga yang akan dituliskan dalam resi. Setelah lolos uji, akan dilakukan survei
oleh pihak bank, dan dalam waktu dua hari akan terbit resi serta perncairan
dana. Petani akan mendapatkan dana senilai 70% dari total harga jagung yang
dititipkan di gudang
dengan harga yang berlaku dipasaran.
Berdasarkan Gambar 1, ditunjukkan bahwa umumnya
penerapan sistem resi gudang
di kabupaten Tuban lebih menggambarkan persepsi akan keuntungan dibandingkan dalam hal biaya. Persepsi manfaat yang diperoleh petani yakni dari sisi keuangan pada keuntungan petani (pembiayaan mudah dan cepat), dan resi yang ada dapat diagunkan serta diperjualbelikan. Persepsi pertama sebesar 17,62% menunjukkan bahwa petani menganggap penundaan penjualan akan memberikan keuntungan lebih baik dari pada menjualnya langsung pada saat panen. Persepsi kedua (16,29%) adalah mekanisme gudang yang dianggap tidak rumit, sebab petani cukup membawa produk dan langsung dilakukan pengecekan kualitas kelayakan penyimpanan.
di kabupaten Tuban lebih menggambarkan persepsi akan keuntungan dibandingkan dalam hal biaya. Persepsi manfaat yang diperoleh petani yakni dari sisi keuangan pada keuntungan petani (pembiayaan mudah dan cepat), dan resi yang ada dapat diagunkan serta diperjualbelikan. Persepsi pertama sebesar 17,62% menunjukkan bahwa petani menganggap penundaan penjualan akan memberikan keuntungan lebih baik dari pada menjualnya langsung pada saat panen. Persepsi kedua (16,29%) adalah mekanisme gudang yang dianggap tidak rumit, sebab petani cukup membawa produk dan langsung dilakukan pengecekan kualitas kelayakan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, R.R. 2008. Sistem Resi Gudang
akan Diberlakukan Nasional. Tersedia pada: https://bisnis.tempo.co/read/121425/sistem-resi-gudang-akan-diberlakukan-nasional
Ashari. 2012. Potensi dan Kendala Sistem
Resi Gudang untuk Mendukung Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi:29:(2): 129-143
Bappebti. 2011. Sistem Resi Gudang sebagai Instrumen
Pembiayaan. Tersedia pada: https://www.bappebti.go.id/
Listiani, N. Dan B. Haryotejo. 2013.
Implementasi Sistem Resi Gudang pada Komoditi Jagung: Studi Kasus di Kabupaten
Tuban, Provinsi Jawa Timur. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan:7: (2)
Muhi, H.A. 2011. Fenomena Pembangunan
Desa. Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinagor. Tersedia pada: http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/FENOMENA-PEMBANGUNAN-DESA2.pdf
Putri, N.P. 2012. Sistem Resi Gudang
Solusi Bagi Petani: Tersedia pada: https://www.bappebti.go.id/id/topdf/create/1044.html.
UU No. 9. 2011. Sistem Resi Gudang.
Tersedia pada: http://regulasi.kemenperin.go.id/site/download_peraturan/165
5:43 PM
No komentar
Mengapa seulas senyum menghilang dari wajahmu yang menenangkan
Seolah kabut menyelimuti tanpa ada tanda-tanda akan menghilang
Apakah badai kehidupan sudah sedemikian pahitnya hingga kau tak lagi mampu
untuk bertahan?
Lalu apalah arti perjuangan dari setiap mereka yang tak letih mengejar
harap dengan berjuang?
Langkah lesu bahkan tak malu lagi dengan langkah para semut yang terus
berlarian dengan penuh semangat
Mencari serpihan demi serpihan rezeki tuk dibagi bersama kerabat dan
sahabat
Berat nafas itu berhembus, lengkap sudah dengan tatapan sendu yang kerap
terkatup
Enyah saja sekelumit beban dipundak kecil itu
Bisakah kau jalani saja selayaknya manusia lain?
Memaklumi bahwasanya setiap jiwa punya potensi untuk salah
Memaafkan pun menjadi obat agar hati terjauhkan dari noktah dosa
Hati sejatinya milik Tuhan
Yang tak dapat dijamin kondisinya setiap saat kau terbangun membuka kedua
mata
Lengan yang kau gandeng kuat-kuat lalu, kini bisa jadi Cuma bisa kau
pandangi punggungnya jauh-jauh
Tawa yang terus bergulir hari demi hari, bisa jadi hari ini Cuma bisa kau
kenang dalam-dalam
Sesederhana dan sepelik itu
Keadaan tak ingin dipersalahkan
Mungkin diri yang harus berbenah
Sebab ada aksi yang kerap menyakitkan hati
Meski mulut terkatup rapat
Atau
Mungkin ada hati yang terluka
Meski langkah diam ditempat
sebab mulut berbusa tanpa jedah menoreh luka
Jangan, jangan kau katakan “andai saja”
Hari ini adalah milikmu
Selaksa waktu yang dapat kau ubah sekehendak mu
Tentu saja dengan izin Tuhan yang
Maha Tahu
menjadi coretan cerita yang indah untuk diingat
atau justru sebaliknya, terlalu buruk untuk sekedar terlintas dibenak
menyelami dan merenungi sebuah catatan kecil bahwa
menghargai mereka yang selalu disisi adalah sebuah kewajiban
sebelum akhirnya mereka pergi tanpa aba-aba
entah masih dapat kau temui senyumnya meskipun sulit,
atau tak lagi kau dapat kau temui meski hari, bulan hingga tahun terus
berganti, dibumi yang kau tempati
2:00 PM
No komentar
oleh Najwa Shihab
Disadur dari Catatan Najwa untuk #AsianGames2018 *Bersiap Menyambut Seluruh Penjuru Asia*
Sejarah hanya mencatat para
pemenang
Tak ada tempat bagi para pecundang
Yang kalah harus rela dikenang
seperlunya
Itulah hadiah terbaik bagi yang
gigih berusaha
Mereka yang tidak tumbang oleh
letih dan cedera
Mendorong diri sendiri hingga batas
yang terjauh
Lewat ribuan latihan tanpa banyak
keluh
Juara adalah yang berkorban paling banyak
Yang berlatih hingga nafas begitu
sesak
5:14 PM
No komentar
A.
Latar Belakang
Kecenderungan untuk selalu
mengonsumsi fast food (makanan siap
saji) sebagai menu saat bersantap di luar rumah tak jarang menjadi pilihan bagi
mereka yang sibuk dengan aktivitasnya. Namun dewasa ini masyarakat menjadi
semakin cerdas dan mulai berpikir dan kritis tentang menu yang sebaiknya
diputuskan untuk dikonsumsi. Termasuk dalam konsumsi fast food, mulai ada upaya pembatasan tentang frekuensi
mengonsumsi. Dipaparkan oleh Khomson (2002), bahwa fast food adalah panganan
yang sebenarnya mengandung nutrisi, namun penting untuk tidak dikonsumsi
berlebihan sebab akan terjadi ketidakseimbangan nutrisi (porsi yang tidak
seimbang antara serat, vitamin, mineral, kandungan garam, lemak bagi tubuh)
yang dapat menyebabkan munculnya beragam penyakit degeneratif seperti
hipertensi dan kolesterol.
Namun kenyataannya upaya
untuk memulai pola hidup sehat yang bermula dari makanan, telah digencarkan
oleh seorang aktivis pangan Italia, Carlo Petrini sejak 30 tahun yang lalu
tepatnya pada tahun 1986. Hal ini bermula ketika Mc. Donald berupaya untuk
membuka gerai pertamanya di Roma, Italia. Rencana ini mengganjal nurani Petrini
yang menganggap bahwa pembukaan gerai tersebut justru akan menjadi ancaman bagi
tradisi konsumsi pangan lokal oleh masyarakat Italia saat itu. Petrini bahkan
memimpin demonstrasi kepada lokasi situs Mc. Donald. Kejadian tersebut
melatarbelakangi dibentuknya pergerakan dan asosiasi slow food atau slow food
movement, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran untuk mulai
mengonsumsi makanan dan menggiatkan tradisi lokal yang terancam punah
(Pendhakar, 2016).
Namun slow food movement tidak sekedar ajakan
untuk mengonsumsi makanan lokal khas daerah tempat kita tinggal. Lebih dari itu
pergerakan ini mencakup upaya kesadaran kita untuk memperhatikan nutrisi menu
yang akan dimakan, mempertimbangkan asal dan proses pengolahannya (ramah lingkungan
atau tidak memicu penyakit tertentu), hingga kemasannya. Hal ini mencakup pada
tiga tagline filosofis slow food movement yakni Good, Clean, Fair yang ditujukan bagi
konsumen, produsen, dan planet bumi yang kita tempati.
B. Ruang Lingkup Slow Food
Asosiasi slow
food memiliki beberapa program kerja dalam rangka membumikan budaya slow food, yang dilaksanakan oleh
seluruh partisipan dan penggiatnya. Program
kerja besar mereka yakni the Ark of Taste
(membuat dan menyebarkan katalog yang memuat informasi tentang produk
pangan tradisional yang beresiko punah); The
Slow Food Presidia (upaya mempertahankan kualitas produksi pangan tanpa
mengesampingkan aspek lingkungan, mempertahankan metode pengolahan tradisional,
serta penggunaan varietas tanaman lokal); The
Earth Markets (program kerja yang melibatkan para produsen kecil yang
menjual beragam produk lokal secara berkelanjutan); dan Terra Madre (sebuah jaringan komunitas pangan yang terdiri atas
petani, nelayan, koki, generasi muda, penggembala, pengrajin, aktivis, serta
peneliti yang menggiatkan konsumsi pangan lokal, serta turut menyelamatkan
keanekaragaman hayati, melindungi lingkungan, dan peduli akan budaya dan
tradisi lokal).
Gambar 1. Skema
pergerakan slow food sejak tahun 1989
hingga tahun 2015 (Dumitru et al. 2016)
Seluruh program kerja
tersebut tidak terlepas dari tiga prinsip dasar dari slow food. Makna “good” dimaksudkan
bahwa dapat dipastikan makanan yang dikonsumsi telah melalui tahap formulasi
yang baik sehingga dihasilkan produk dengan rasa serta flavor yang baik. Hal
ini menjadi tantangan bagi para produsen dalam menentukan bahan baku serta
proses pengolahan terbaik, tanpa mengesampingkan nilai nutrisinya. Adapun makna
“clean” ditujukan kepada segala hal
yang melibatkan tahapan rantai produksi produk pangan hingga sampai ke tangan
konsumen. Hal ini melingkupi lingkungan yang merupakan tempat seluruh produk
pangan kita bermula yang senantiasa diprioritaskan kelayakannya demi aktivitas
pertanian dan peternakan yang berkelanjutan, dalam hal ini kaitannya dengan
keseimbangan ekosistem alam. Kualitas kondisi pasca panen tersebut akan sangat
berimbas pada proses pengolahan produk pangan. Makna “fair” melingkupi keadilan sosial pada lingkungan serta kondisi
kerja yang menghormati hak-hak pekerja misalnya dengan memberikan upah yang
layak. Aplikasi ketiga prinsip tersebut diharapkan mampu memperbaiki sistem
pangan, sehingga setiap orang tidak hanya turut serta merasakan dampak
positifnya namun turut serta berpartisipasi aktif dalam mewujudkannya.
Namun pergerakan slow food bukan tidak menghadapi kendala. Kontroversi
muncul sebab slow food cenderung
mengajak masyarakat untuk mulai mengonsumsi pangan lokal, serta pangan organik,
yang oleh beberapa pihak sangat dikhawatirkan sebab memerlukan lahan yang jauh
lebih besar. Hal ini menjadi tantangan, sehingga kembali kepada kebutuhan
setiap pribadi tentang seberapa peduli mereka tentang kondisi serta kualitas
produk pangan yan akan dikonsumsinya.
Upaya implementasi slow food berawal dari kesadaran kita akan
melimpahnya keanekaragaman hayati yang dimiliki bumi ini yang mencakup tanaman,
hewan, mikroorganisme, dan tumbuhan. Belum termasuk hasil pemuliaan yang
menghasilkan beragam varietas yang dapat tumbuh sesuai lingkungan di daerah
sekitar kita. Secara alami hasil pemuliaan tersebut akan menjadi lebih kuat,
serta membutuhkan air dan pestisida dalam jumlah yang tidak terlalu besar.
Keanekaragaman ini banyak dimaksimalkan oleh para petani (Ceriani, 2015). Kesadaran
ini secara tidak langsung dapat menumbuhkan kepekaan dan keingintahuan yang
lebih besar untuk mampu mengoptimalkan keanekaragaman tersebut dengan maksimal,
yang juga dapat dinikmati hingga generasi mendatang.
Pengetahuan tradisional
juga memiliki peran besar dalam upaya pengembangan slow food. Pengetahuan yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan
oleh para generasi terdahulu dalam mengolah keanekaragaman hayati bahkan
dimulai dari mengolah tanah yang sulit sekalipun hingga menghasilkan beragam produk
pangan, berbekal cara turun-temurun yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Pengetahuan ini mencakup cara mengolah bahan pangan menjadi
produk pangan berupa roti, manisan, permen, dan lain-lain. Hal inilah yang
kerap kali kita sebut dengan produk pangan lokal. Turut serta melestarikan pangan
lokal berarti turut melindungi segenap keanekaragaman hayati serta budaya lokal, sebab pangan lokal sedikit berasal
dari sana. Mengonsumsi pangan lokal berarti menggiatkan keseimbangan ekosistem,
yang pada dasarnya dimanfaatkan dengan cara yang baik oleh petani sejak dari
lahan hingga menghasilkan produk pangan.
Keselarasan antara
sumberdaya alam yang melimpah dengan cara pemanfaatan yang ramah lingkungan
menjadi salah satu hal yang ingin dicapai melalui slow food movement, sebab dengan cara demikian sangat memungkinkan
untuk mampu menjamin ketersediaan makanan yang “baik, bersih, dan adil” bagi generasi
mendatang. Berikut adalah beberapa tantangan serta bahan pertimbangan dalam
pengaplikasian slow food yang bermula
dari diri sendiri.
1)
Konsumsi Kue
Kue yang banyak memanfaatkan palm
oil sebagai salah satu bahan pembuatannya juga memberi kontribusi besar
dalam hal pengaplikasian slow food secara
konsisten. Hal yang menjadi pertimbangan adalah banyaknya pohon di area hutan hujan yang harus ditebang dalam rangka
penanaman kelapa sawit. Padahal diketahui bahwa, hutan hujan memiliki peran
yang sangat krusial dalam mencegah erosi banjir serta menstabilkan iklim dengan
cara menyerap karbon dioksida. Ulasan ini menjadikan para konsumen untuk
berpikir lebih keras untuk mengurangi atau bahkan mencari alternatif
produk pangan yang tidak melalui
rangkaian tahapan industri yang tidak sehat. Beberapa contoh misalnya mengonsumsi
jus buah, atau mencoba membuat kue
sendiri (home made).
2)
Konsumsi Pisang
Pisang
yang dikonsumsi oleh konsumen internasional secara umum dipasok oleh lima
perusahaan multinasional yang pada dasarnya melakukan penanaman pisang di
perkebunan besar. Penggunaan pestisida dalam jumlah besar, begitupun pupuk
sintesis dan fungisida, serta
eksploitasi buruh, menjadi hal kritis yang masih menjadi permasalahan dalam
alur produksi pisang. Selain itu permasalahan lainnya adalah proses distribusi
pisang pasca panen yang terkadang harus berhari-hari menggunakan kapal, yang
tidak jarang ditemukan pisang yang matang sebelum dijual. Selain itu
permasalahan lainnya muncul ketika hanya satu varietas saja yang mendominasi
pasar yakni, Cavendish. Padahal banyak varietas pisang lainnya yang juga
potensial untuk dikomersilkan. Hal yang dapat dilakukan sebagai konsumen adalah
membeli pisang organik, yang jauh lebih memperhatikan keseimbangan lingkungan
serta keberlanjutan sosial bagi petaninya.
3)
Limbah yang
diminimalisir
Ketika berbelanja
kebutuhan misalnya di supermarket, hal yang dipertimbangkan adalah setiap
produk pangan yang kita masukkan ke dalam keranjang belanja maka kita
bertanggung jawab pula atas kemasan yang digunakannya. Slow food melingkupi seberapa ramah lingkungan kemasan yang
digunakan. Misalnya minuman mineral dalam kemasan botol, alangkah baiknya jika
diminimalisir sebisa mungkin dan diatasi dengan menggunakan botol minum yang
dapat digunakan berkali-kali. Selain itu hal menarik lainnya adalah memastikan
kita menghabiskan setiap makanan yang dibeli tanpa harus menyisakannya. Bisa
dibayangkan jika setiap orang di dunia ini menyisakan makanan, sementara di
bagian lain di bumi ini banyak yang berjuang hidup atas kelaparan. Solusi yang
dapat dilakukan adalah sebaiknya produk lokal musiman yang diperoleh di pasar
terdekat menjadi prioritas untuk dikonsumsi, yakni produk yang tidak harus
menempuh jarak yang panjang untuk kita olah dan bahkan jika memungkinkan
alangkah baiknya jika kita langsung membeli dari produsen. Hal ini untuk
meminimalisir terbuangnya bahan atau produk pangan yang membusuk sebelum
dikonsumsi misalnya buah apel yang berbintik, atau wortel yang bentuknya
bengkok. Sebab buah-buahan tersebut tentu tidak akan kita temukan ketika
berbelanja di supermarket
4)
Kritis terhadap
Info Produk pada Kemasan
Konsumen
dapat memutuskan pilihan terbaiknya melalui pemahaman akan informasi yang
disajikan pada kemasan pangan. Namun tidak semua informasi penting disertakan
dalam kemasan, termasuk hal yang sebenarnya penting diketahui oleh para
konsumen. Pada produk keju akan dipaparkan pada kemasannya mencakup bahan yang
digunakan (susu, garam, enzim rennet), berat produk, implikasi yang terjadi
terkait proses pengolahannya, serta tanggal kadaluarsanya. Namun ternyata
informasi tersebut kurang lengkap bagi konsumen yang peduli dengan makanan yang
akan dikonsumsinya, sebab menjadi penting untuk mengetahui jenis susu yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan keju (hasil peternakan lokal atau dibeli
dari negara lain), cara membesarkan ternaknya, jenis makanan yang dikonsumsinya
(rumput atau pakan industri yang mungkin dibuat dengan metode transgenik (Genetically Modified Organism). Banyak
pertanyaan yang tidak terjawab karena terbatasnya informasi yang dimuat dalam
kemasan produk pangan.
Namun
tidak semua seperti demikian, beberapa produk slow food menggunakan label naratif yang memasukkan semua aspek terkait produk sehingga memperkaya wawasan
konsumen serta memudahkannya untuk memutuskan produk pangan yang sebaiknya dikonsumsi.
5)
Berkebun
Menanam
sendiri komoditi bahan pangan yang akan kita konsumsi merupakan salah satu cara
untuk memberikan tubuh asupan makanan yang lebih segar, sehat, dan lezat,
disamping menjadikan kita lebih dekat dengan alam. Berkebun tidak harus
menggunakan lahan yang luas namun dapat
dimulai dari lahan kecil di halaman rumah kita, sebagai salah satu upaya untuk
menghidupkan pangan sehat. Kegiatan berkebun senantiasa digencarkan oleh para
aktivis slow food, yang hingga tahun
2015 telah berhasil menstimulasi sebanyak 500 sekolah di Itali dan 300 sekolah
untuk mulai berkebun, serta sebanyak 10,000 kebun di Afrika. Melalui uraian ini
dapat disarikan manfaat penerapan slow
food sebagai berikut.
1.
Kenikmatan yang
lebih besar ketika menyantap pangan sehat dan bernutrisi bersama orang-orang
terdekat.
2.
Turut serta
mendukung petani lokal serta usaha kecil dan menengah
3.
Praktek
berkelanjutan bertani
4. Mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai
C.
Negara-negara Asia yang Menggerakkan Slow Food
Gambar 2. Upaya penyebaran slow food movement (Malatesta et
al. 2007)
Hingga hari ini jumlah penggerak slow food telah mencapai 100,000 yang mencakup di seluruh dunia.
Bahkan demi keberlanjutannya, slow food mendirikan
University of Gastronomic Sciences yang menawarkan beragam fokus ilmu terkait
produksi pangan dan budaya pangan lokal. Para penggerak tersebut terdiri atas
ratusan komunitas (dari beragam latar belakang) yang terus gencar mengajak untuk mengaplikasikan
slow food yang dimulai dari diri
sendiri. Penggerak slow food terfiri
atas chairman, juga convivium yang merupakan sebutan bagi kelompok penggerak. Negara-negara
di Eropa seperti Italia, Belgia, Swiss, Jerman, Prancis dan Inggris, serta
negara adidaya yakni Amerika serikat bahkan sudah terlebih dahulu menggiatkan
pergerakan ini. Beberapa negara di Asia yang telah turut serta dalam slow food movement adalah India, Jepang,
Malaysia, dan juga Indonesia.
Pergerakan slow food di Jepang sudah menjadi salah
satu fokus pemerintah, yang dilakukan dengan meluncurkan beragam inisiasi untuk
berperan aktif dalam mendidik masyarakat
dalam mengimbangi arus globalisasi makanan dengan pengetahuan tentang makanan
yang tepat dan sehat. Upaya tersebut bermuara kepada ajakan untuk senantiasa
melestarikan dan menerapkan kebiasaan konsumsi panganan lokal, yang menjadi
upaya pemerintah yang ditujukan pula untuk mengurangi masalah obesitas, serta
diet tidak seimbang yang berkembang di negaranya.
Sementara itu melalui slow food movement, Malaysia mulai menggencarkan produk pangan
lokalnya yang kemudian dijadikan tujuan wisata kuliner yang ditawarkan ketika
mengunjungi beberapa daerah di Malaysia. Misalnya di daerah Johor menawarkan
produk Laksa Johor dan Penganan kacau keledek (terbuat dari kentang manis dan
banyak telur yang dipanaskan selama 4 jam). Adapun di Indonesia, aplikasi slow food digencarkan oleh banyak
komunitas disetiap daerah. Komunitas slow
food Kemang melakukan workshop berkebun yang ditujukan kepada anak-anak,
yang menjadi salah satu upaya untuk menginspirasi msyarakat Indonesia untuk
mulai mengimplementasikan slow food
culture. Kenyataannya para penggiat slow
food tersebut, sudah terlebih dahulu menghidupkan pangan organik
dikesehariannya. Salah satunya adalah Bibong Widyarti yang merupakan seorang
petani asal Ciawi yang mempelajari dan mengimplementasikan pertanian organik
melalui komunitas slow food.
Pergerakan slow food sangat
berkorelasi dengan produk pangan lokal yang sangat beraneka ragam. Wandi S. Assayid
merupakan salah seorang yang turut menggali dan menggerakkan potensi lokal
melalui produksi Madu Cingagoler yang berasal dari Banten. Madu tersebut tidak
banyak dikenal karena lokasi kampung Cingagoler yang terpencil, sehinggaWandi
giat memasarkan produknya tersebut ke beberapa wilayah seperti Jakarta dan
Bogor. Upaya yang dilakukan Wandi mampu menjadikan madu Cingagoler masuk ke
dalam daftar 45 Ark if Taste oleh slow food, yakni pangan lokal yang
terancam punah, dan telah dipamerkan di Italia. Tidak hanya dikenal di taraf
Intenasional, produksi madu Cingagoler bahkan mampu membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar kampung Cingagoler. Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang
gigih, mampu menghidupkan lagi produk
pangan lokal yang diharapkan dapat bertahan hingga dapat dinikmati oleh
generasi mendatang.
D.
Kesimpulan
- 1) Slow food menjadi upaya nyata yang dapat dicoba untuk diterapkan secara maksimal dalam rangka tercapainya produk pangan serta aktivitas produksi pangan yang baik, bersih, dan adil.
- 2) Meskipun mengonsumsi fast food tidak selamanya keliru, namun beralih pada produk pangan lokal menjadi upaya nyata untuk menghidupkan kebiasaan yang hampir ditinggalkanseiring berjalannya waktu ditengah arus globalisasi.
- Diperlukan edukasi pangan kepada seluruh lapisan masyarakat, agar lebih memahami proses pengolahan produk bahkan dimulai dengan mengetahuiseluk beluk dari mana produk yang dikonsumsinya berasal.
DAFTAR PUSTAKA
Alfi, A.N. 2016. Slow Food
Kembalikan Kejayaan Makanan Lokal. Tersedia pada: http://lifestyle.bisnis.com/read/20161126/220/606505/slow-food-kembalikan-kejayaan-makanan-lokal
Assman, Stephanie. 2010. Food
Action Nippon and Slow Food Japan: The Role of Two Citizen Movements in the
Rediscovery of Local Foodways. Tersedia pada: http://icc.fla.sophia.ac.jp/global%20food%20papers/pdf/2_2_ASSMANN.pdf
Barrie. 2014. Advantages of the slow food
movement. Tersedia pada: https://www.simcoe.com/shopping-story/4313092-advantages-of-the-slow-food-movement/
Ceriani, S., S. Milano. R. Ponzio. 2015. Bite
Size Slow Food. Tersedia pada: https://www.slowfood.com/about-us/key-documents/bite-size-slow-food/.
Dumitru A., I.L. Blanco., I. Kunze. dan R.G.
Mira. 2016. Transformative Social Innovation: SlowFood Movement.. Tersedia pada: http://www.transitsocialinnovation.eu/content/original/Book%20covers/Local%20PDFs/190%20SlowFood_summary.pdf
Irvingm John. 2017. Slow food. Welcome to Our
Companion: Slow Food. Tersedia pada: https://www.slowfood.com/about_us/img_sito/pdf/Companion08_ENG.pdf
Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi Kesehatan.
Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Malatesta S., M. Mesmain., S. Weiner., W. Yang. 2007.
Companion of Slow Food. Tersedia pada: http://slowfood.com/filemanager/AboutUs/Companion13ENG.pdf
Malaysia Tourism. 2017. Slow Food Malaysia.
Tersedia pada: http://www.malaysia-trulyasia.com/tourism/slow_food_malaysia.htm
Pendhakar, Vrushal. 2016. Slow Food Why We
Need a Movement to Halt the Advent od The Fast Junk Food Culture. Tersedia
pada: http://www.firstpost.com/living/slow-food-why-we-need-a-movement-to-halt-the-advent-of-the-fast-junk-food-culture-3084808.html
Ronca, Debra. 2017. Everything You
Ever Wanted to Know About the Slow Food Movement. Tersedia pada: https://recipes.howstuffworks.com/slow-food-movement.htm
Zulaika. 2011. Konsumsi Serat dan Fast Food serta Aktivitas Fisik Orang Dewasa yang
Berstatus Gizi Obes dan Normal. [Skripsi]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47516/I11zul.pdf?sequence=1&isAllowed=y
10:11 AM
No komentar
Mereka
setia,
Menyapa
pagiku yang bergelora
Menjemput
senjaku yang nyaris tak bertenaga
Begitulah
langkahku disambut pilu rintihan insan yang nampak tak berdaya
Rupa-rupa
ratapan itu menyeruak, menghalau jalanku tiba-tiba
Anak
kecil tak beralas kaki, yang mengasah diri dengan lantunan ayat suci
Pria
paruh baya, yang mengerut, memelas, dengan suara parau nan lirih
Kakek
dan suling tua, yang memanjakan telinga oleh alunan nada sarat harmoni
Juga
Ibu lanjut usia, yang tak letih menjajakan kue hingga kondisi yang diragukan
indrawi
Serta
ibu dan anak buta, yang asyik bercerita dengan tangan yang menengadah, menagih
Mereka..
bertahan, bertemanikan wadah kecil, penampung rupiah tanda belas kasih
Hatiku
terenyuh
Namun
akalku bergemuruh
Setengah
mati dibuat gusar menduga ratapan yang sungguh-sungguh
atau
sebuah rekayasa lusuh akibat semangat juang mereka yang telah rapuh
Aduhai..
keprihatinan menyelimuti semangatku akan realita pahit yang dunia seru
Langkah
kaki mungilku bergegas ‘tuk meraup ilmu
Namun
rintihan mereka juga tak letih menjemputku diujung gerbang biru
Lantas
cukupkah rupiah baginya, dari kami yang hidupnya masih disantuni ayah dan ibu?
Ku
pendarkan akalku pada semesta
Juga
hatiku agar menyamai jernihnya samudra
Menenggelamkan
gundahku akan rintihan pedih di depan mata
yang
tak ku pahami benar tidaknya
Biar
saja ku semai meski tak berlimpah
Sebab
Tuhanku tahu kebenarannya
Biar
saja secuil kadarnya asal berkah dan bernilai ibadah
Meski
harus bertarung dengan bisikan keji yang menggelora senantiasa
Selaksa
harap menggema di palung hatiku
Mengharap
langit memberkahi hidup para pengais rezeki itu
yang
rela menghempas malu
Demi
kerasnya hidup yang terus membelenggu
Bukan
hardikan dan tatapan arogansi
yang
memekakkan mata, menampar mata hati
Memicu
kerut yang menjadi-jadi
Sebab mereka pun punya nurani
Lembut, halus, begitu indah adab yang dijabarkan
baginda nabi
Sebab dari para kaum fakir, catatan kebaikan kita
dapat bermula
Yang menjadi sebab noda-noda hitam lenyap hingga tak
bersisa
Yang menyembuhkan angkuh, lalu membumikan hati
Beginilah...
Potret bumiku yang katanya kaya raya
Yogyanya
mengusik gundah para cendekia, generasi muda
Dan
sudah seharusnya mereka terusik
Sudah seharusnya ruang hatinya tergelitik
Tergugah untuk mengudarakan ratapan mereka
Dengan gaya khas pemuda
Bukan sekedar melontarkan celotehan demi memicu gelak
tawa
Yang memicu perpecahan nusa dan bangsa
Ketimpangan
yang menyesakkan pandangan, terbelangah
Bahan baku pemacu pembenahan, menggenjot belajar sampai
kepayahan
Memperbaiki diri kini, demi masa depan
Saat kepemimpinan kelak menyapa dan menagih, untuk
sebuah pengabdian
Meretas pahit getirnya kemiskinan dan ketidakberdayaan
Sebab ‘sejahtera’ juga hak mereka yang wajib ‘tuk diperjuangkan
Sebab ku tahu, mereka lelah meminta.. lelah tangannya
menengadah
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam sayembara puisi yang diselenggarakan oleh Tulis.me
9:43 AM
No komentar
Blog Archive
-
▼
2018
(63)
-
▼
Juli
(15)
- Jangan Tunggu Tanggal 18 untuk Dukung Bersama Asia...
- Wahai Pemuda, Tunjukkan Nasionalisme Versimu untuk...
- Bertolak dari sesak
- Sekilas tentang: Sistem Resi Gudang untuk Hasil Pa...
- Bisik-bisik hati
- Pemenang dan Pecundang
- MENGENAL SLOW FOOD LEBIH DEKAT
- Tersulut Gundah, Saat Tangan Mereka Menengadah
- Hak dan Kepemilikan Intelektual: Perseteruan Apple...
- Maju Bersama Mengulang Sejarah di Asian Games ke-1...
- Air Minum Isi Ulang, Ekonomis tapi Wajib Waspada
- Pemahaman Pangan, Bekal Pokok Wujudkan Ketahanan P...
- Manajemen Penyimpanan Kurangi Akrilamida pada Prod...
- Memahami Makna “Best Before” dalam Kemasan Pangan
- Keanekaragaman Sumber Pati Lokal dalam Balutan Tek...
-
▼
Juli
(15)
Entri yang Diunggulkan
Ibrah: Orang-orang Pergi. Apakah Mereka Kembali?
Bismillah. Kepergian itu sulit. Tapi, kehilangan lebih sulit lagi. Mengapa orang-orang harus saling meninggalkan? Jawabannya membawa saya...