ATPbiokimiadagingDFDglikogenikankarbohidratmikrobamortisototperubahan biokimia ikanperubahan biokimia dagingpost mortempost mortisprarigorPSErigor mortisstres
Perubahan Biokimia pada Hasil Ternak dan Ikan Setelah Panen atau Penyembelihan
FINAL
REPLACEMENT TASK^^ #foodbiochemistry
Berbicara tentang perubahan
biokimia pada makhluk hidup khususnya daging dan ikan, tentunya terlebih dahulu
harus diketahui dan dipahami keadaan biokimianya. Memahami biokimia berarti
memahami proses kimiawi yang terjadi pada organisme hidup. Hal tersebut akan memudahkan
dalam mempelajari ataupun menganalisa penyebab terjadinya perubahan biokimia
pada makhluk hidup akibat faktor tertentu.
Jika konsumsi atau kadar glukosa
dalam tubuh hewan terlalu tinggi, maka glukosa tersebut akan diubah menjadi
glikogen (cadangan energi) yang nantinya akan dimanfaatkan jika hewan
sewaktu-waktu kekurangan energi. Cadangan energi (glikogen) pada daging akan disimpan
di hati ataupun di otot. Glikogen
selanjutnya akan diubah menjadi asam laktat dalam suasana anaerob atau menjadi
asam piruvat dalam suasana aerob, dan akan menghasilkan ATP. ATP pada otot
digunakan dalam proses relaksasi ataupun kontraksi ketika hewan beraktivitas.
Spesifiknya, ATP tadi digunakan untuk melepaskan aktin dan miosin. Hal ini disebabkan karena aktivitas kontraksi
maupun relaksasi otot dapat terjadi karena interaksi antara aktin, miosin, dan
ATP. Aktivitas glikogen yakni, pemanfaatan pospokreatinin untuk reposporilasi.
Jika glikogen menghabiskannya, maka sistem memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan protein, serta asam lemak melalui reaksi kimia tertentu.
Terkait proses penyembelihan, ada
yang dikenal dengan istilah eksanguinasi. Eksanguinasi adalah pengeluaran semua
darah yang terjadi pada salah satu bagian tubuh yang terjadi ketika hewan
disembelih. Sesaat setelah proses eksanguinasi terjadi, selanjutnya akan
terjadi suatu keadaan homestasis (upaya untuk menjaga atau mempertahankan keseimbangan
fisiologi dari lingkungan internal). Selanjutnya oksigen yang tersimpan akan
habis, sehingga menyebabkan produksi asam laktat (tersimpan dalam otot). Namun,
karena upaya homeostasis tidak lagi efektif maka pertahanan hewan terhadap
mikroba menurun. Jika pembentukan asam laktat terlalu besar, maka menyebabkan terjadinya
asidosis (kematian pada daging babi).
Kematian hewan seringkali dikaitkan
dengan istilah premortis, rigor mortis, serta post mortis. Rigor mortis adalah
kekakuan yang terjadi setelah proses penyembelihan pada hewan (Hal serupa juga diistilahkan
pada manusia yang telah meninggal dan dikatakan sebagai kaku mayat). Glikogen
beserta ATP yang tersisa pada tubuh hewan akan digunakan pada proses kontraksi
otot hingga jumlahnya habis. Ketika jumlahnya habis, maka akan terjadi atau
terbentuk rigor mortis (kekakuan otot). Selain itu, ketika kadar ATP telah habis maka aktin dan miosin akan
terikat bersama (disebut aktomiosin) sehingga terjadi kekakuan otot. Hewan yang
dalam keadaan stress ketika disembelih, serta suhu yang tinggi, maka persediaan
ATP yang dimiliki kurang sehingga rigor mortis (kekakuan otot) akan cepat
terjadi (perombakan dibantu oleh enzim ATPase). Proses rigor mortis yang terjadi dalam waktu
singkat (saat itu pH berada diatas pH normal daging) akan menyebabkan kualitas
daging rendah yang ditandai dengan warna merah gelap karena kekurangan oksigen
(namun ketika terkena udara akan berwarna cerah), dan tidak tahan lama.
Namun hal ini tidak dikehendaki,
salah satu solusi yang biasanya dilakukan oleh penjual daging adalah
menggantung daging hasil sembelihan dengan bantuan gaya gravitasi sehingga membantu
meregangkan otot-otot daging. Berakhirnya proses rigor mortis ditandai dengan
penipisan kreatin posfat serta reposporilasi. Jika dirunut kembali pada fase
prarigor, kadar protein masih tinggi sehingga air yang keluar dari jaringan
masih sedikit. Hal ini menyebabkan daging lunak dan kenyal. Pada keadaan rigor
mortis, hewan terlalu lama dibiarkan tanpa perlakuan sehingga tekstur daging kaku
dan tidak baik diolah karena proses pengolahan untuk mengempukkan daging akan
memakan waktu yang lama. Sementara itu pada keadaan post mortis, daging yang terlalulama tidak ditangani akan
terkontaminasi oleh banyak mikroba. Namun, daging akan kembali lunak karena
peranan enzim yang memecah protein aktomiosin menjadi lebih sederhana. Hal ini
menyebabkan kondisi daging bagus untuk diolah namun sebaiknya proses pengolahan
daging harus sesegera mungkin karena adanya kontaminasi mikroba yang dapat
menurunkan mutu. Penurunan mutu ditandai dengan lembeknya tekstur daging, dan
dihasilkannya aroma yang busuk .
Faktor yang mempengaruhi perubahan post mortem/mortis
daging adalah sebagai berikut:
1.
Stress
Stress pada daging akan mengaktifkan
aktivitas homeostasis yang nantinya menghasilkan respon fisiologis.
Gejala-gejala yang timbul tak lepas dari aktivitas beberapa hormon seperti
hormon epinefrin (mengurai glikogen dan lemak), adrenalin (memberikan perlawanan
terhadap gejala stress), epinefrin dan norepinefrin (mempertahankan sirkulasi
darah), serta tiroid (meningkatkan metabolisme).
2.
Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan
stress pada hewan
a)
Suhu
Suhu yang terlalu rendah
menyebabkan hewan menggigil, namun jika terlalu tinggi akan menyebabkan
terjadinya pemecahan ATP.
b)
Kelembaban
c)
Cahaya
d)
Suara asing
Terkait perubahan biokimia pada daging akibat
penyembelihan, dikenal pula istilah PSE dan DFD. PSE (Pale, Soft, Exudative) ditandai pucatnya daging dan banyaknya air
yang keluar akibat rendahnya daya ikat air protein. Daging PSE terjadi pada
daerah paha, serta terjadi pula perubahan warna menjadi gelap pada bahu unggas.
Penyebabnya adalah diproduksinya asam laktat dengan sangat cepat. Hal ini
menyebabkan pH daging menurun setelah penyembelihan, namun suhu otot cukup
tinggi. Istilah DFD (Dark, Firm, dry) digunakan
untuk menyebut kondisi daging yang berwarna gelap, keras (daya ikat oleh
protein relatif kuat), dan kering setelah penyembelihan. Hal ini terjadi akibat
kurangnya glikogen yang dikandung setelah penyembelihan, sehingga glikolisis
menjadi lambat, pH otot rendah, dan produksi asam laktat pun menurun. Timbulnya
kondisi daging DFD dapat dicegah dengan pemberian pakan yang cukup pada ternak,
serta istirahat yang cukup sebelum penyembelihan.
Sementara itu, sebelum membahas lebih jauh terkait
perubahan biokimia pada ikan terlebih dahulu dipahami struktur otot ikan yang
terdiri atas tiga jenis yakni:
1.
Otot berserat (menyusun daging tanpa
lemak)
2.
Otot tidak berserat (dijumpai pada
dinding usus)
3.
Otot kardiak (jaringan khusus yang
terdapat pada dinding jantung)
Struktur otot merupakan ikatan atau kumpulan serat,
selain itu otot juga terdiri atas multinukleat, sel silindris yang selanjutnya
bergabung dan dibungkus oleh membran sarkolema. Kumpulan kelompok serat tadi
selanjutnya akan membentuk bendela serat. Serat otot atau sel otot ditutupi
oleh jaringan penunjang yakni endomisium, perimisium, serta epimisium
(jumlahnya sangat sedikit pada daging ikan).
Proses glikolisis atau pemecahan glikogen pasca
mortem pada ikan disebut hidrolitik sementara pada mamalia disebut amilolitik.
Pada ikan, awalnya glikogen akan dipecah menjadi dekstrin lalu menjadi maltosa
hingga pada akhirnya menjadi struktur yang lebih sederhana yakni glukosa.
Selanjutnya dengan bantuan enzim heksokinase, glukosa akan dikatalis menjadi glikosa 6 fosfat. Dengan adanya
glukosa 6 fosfat, heksokinase otot akan dihambat. Selanjutnya, glukosa 6 posfat akan diglikolisa
menjadi asam laktat. Sementara itu, pada
proses glikolisis amilolitik pada mamalia memiliki sedikit perbedaan. Glikogen
pada mamalia akan diubah menjadi glukosa 1 fosfat, lalu diubah menjadi glukosa 6 fosfat, dan diglikolisa
menjadi asam laktat. Berbeda dengan daging, pH pasca/post mortem pada ikan
dikehendaki agar pH-nya tinggi agar daging tetap keras.
Perubahan
biokimia pada ikan salah satunya ditandai dengan kematian ikan akibat
kekurangan oksigen dalam jangka waktu lama dan mengakibatkan terjadinya
kekakuan pada daging ikan. Selain itu juga terjadi penguraian glikogen menjadi
asam laktat melalui proses glikolisis yang menyebabkan aktivitas enzim ATPase
meningkat, diikuti penurunan pH ikan (pH 6.7-7,2 menjadi pH 6,2-6,6;
dipengaruhi oleh jumlah glikogen ikan), serta ketidakmampuan jaringan otot
mempetahankan kekenyalannya (rigormortis). Selanjutnya, tekstur daging akan
menjadi lebih keras atau lebih spesifiknya terjadi penggabungan protein miosin
dan aktin (membentuk kompleks aktomiosin). Selanjutnya, tekstur daging ikan
perlahan-lahan akan melunak sehingga termasuk dalam kondisi baik dikonsumsi.
Namun, kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena mikroba akan
berkembang biak sehingga terjadi kerusakan. Kerusakan dipicu akibat pH ikan
yang perlahan akan naik hingga pH 7,7-8
dan akan menjadi lebih tinggi seiring proses pembusukan ikan.
Perubahan postmortem
pada ikan ditandai dengan perubahan berikut:
1.
Perubahan sensori
Ikan segar memiliki warna kulit
terang dan jernih, sisik yang menempel kuat pada tubuh, insan yang berwarna
merah hingga merah tua, serta daging yang kenyal (menunjukkan rigor mortis
masih berlangsung). Ikan busuk ditandai dengan ciri kulit yang berwarna suram
dan pucat, insang yang berwarna cokelat
suram, mata yang berkerut, serta daging yang lunak (akibat proses rigor mortis
telah berakhir). Penurunan mutu sensori dipengaruhi dengan terjadinya autolisis
hingga tercipta kondisi yang memungkinkan bakteri untuk hidup (penyebab kerusakan
dan pembusukan).
2.
Perubahan autolitik
Jaringan tubuh ikan mengandung
enzim yang secara spesifik berperan dalam proses penguraian senyawa. Enzim
tersebut bekerja secara terkontrol pada saat ikan masih hidup. Walaupun setelah
mati enzim yang dikandung oleh ikan masih mampu bekerja secara aktif namun
sistem kerja enzim tak lagi terkontrol karena organnya tidak lagi berfungsi.
Akhirnya, enzim akan merusak organ tubuh ikan (autolisis). Terjadinya autolisis
ditandai dengan adanya amoniak yang merupakan produk akhir. Terjadinya
autolisis berbanding lurus dengan perbanyakan jumlah bakteri.
3.
Perubahan bakteriologi
Ketika ikan hidup, secara aktif
ikan memiliki barrier yang berfungsi
untuk mencegah bakteri yang terdapat dalam beberapa organ ikan (saluran
pencernaan, permukaan kulit ikan, insang) agar tidak merusak bagian-bagian tubuh ikan. Namun, saat ikan
mati maka pertahanannya tak ada lagi sehingga bakteri dengan mudah menyebar
pada organ atau bagian tubuh ikan. Jenis bakteri yang ditemukan pada ikan yakni
Pseudomonas, Micrococcus, Vibrio, serta
Flavobacterium. Akibat serangan bakteri,
ikan mengalami perubahan seperti perubahan warna insang, bau yang sangat tajam,
bergetah, dan amis.
4.
Hidrolisis dan oksidasi lipid.
Perubahan biokimia pada ikan akibat
oksidasi lipid ditandai dengan tibulnya aroma tengik yang tak diinginkan serta
perubahan warna menjadi cokelat kusam. Oksidasi dapat dicegah atau diminimalkan
dengan mencegah kontak ikan dengan udara bebas, menggunakan antioksidan, atau
penyimpanan pada ruangan hampa udara. Hidrolisa lipid pada ikan akan
membebaskan asam lemak (FFA) dan juga menyebabkan timbulnya bau tengik. Hal ini akibat
dihasilkannya asam-asam lemak bebas beratom pendek yang menyebabkan bau tengik
pada ikan.
Perubahan
biokimia pada ikan ataupun daging yang telah disembelih sebisa mungkin ingin
dinikmati dalam kondisi baik. Tentu untuk mencapai kondisi tersebut, proses
penyembelihan atau penangkapan ikan serta penanganan awal, proses penyimpanan,
dan pengolahan merupakan hal-hal yang tak boleh disepelekan. Hal ini karena
indikator tersebut berperan besar dalam menentukan kondisi pangan saat akan
dikonsumsi.
2 komentar
Asslamu'alaikum
BalasHapusWahai mbak rizki, tolong dong ada tombol yang bisa menghentikan musik mp3 secara langsung, agar bila ada orang yang ingin mendengarkan musik atau video lain agar tidak menjadi bingung dan terpaksa menutup halaman mbak, kan sayang mbak rizki tidak bisa berbagi pengetahuan, semoga menjadi pembelajaranya mbak.
Wa'alaikumsalam
wa'alaykumussalam
BalasHapusoh oke mas bashofi, makasih banyak ats sarannya :")
ntar kolom musiknya aku taruh d bagian atas sebelah kiri.. biar pengguna bisa langsung klik sendiri tombol stopnya =)