Eksistensi Ketahanan Pangan di Era Industri 4.0

by - 3:45 PM

Saat ini kita sudah dapat memesan makanan hanya dengan bermodalkan telepon genggam dan koneksi internet.
Kemudahan dalam lingkup pangan adalah contoh nyata tersentuhnya kehidupan kita dengan teknologi digital nan cerdas. Revolusi industri 4.0 mengajak kita segera beradaptasi sebab sebuah kepastian kita akan tergilas oleh negara lain jika hanya berdiam diri. Oleh karenanya kita harus mengenali negeri kita agar dapat eksis ditengah gejolak industri 4.0.
Badan Pusat Statistik (2013) memprediksi penduduk Indonesia akan mencapai angka 271,1 juta jiwa pada tahun 2020. Pertumbuhan penduduk memicu peningkatan kebutuhan tempat tinggal. Namun, di sisi lain akan menyebabkan berkurangnya lahan untuk bertani sebab teralihkan untuk pemukiman dan industri. Terbatasnya lahan memaksa kita untuk memanfaatkannya dengan bijak. Itu adalah tantangan yang tak mudah sementara ketersediaan pangan bagi setiap jiwa menjadi keharusan dalam UU No. 18 Tahun 2018 tentang Pangan dengan istilah Ketahanan Pangan.
Secara utuh didefinisikan dalam Pasal 1 Ayat 4 bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”. Menyikapi tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan diera industri 4.0 setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. 
Pertama, memahami kekuatan Indonesia. Kenyataannya, wilayah laut Indonesia lebih luas daripada daratannya. Dilansir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (2017) bahwa sekitar dua per tiga dari seluruh wilayah Indonesia adalah lautan seluas 6,32 juta km2. Tak hanya untuk dijaga, realita ini adalah peluang untuk memajukan kemaritiman Indonesia yang bermula dari gerakan edukasi secara berkelanjutan untuk mengolah dan mengonsumsi pangan hasil laut seperti ikan, kepiting, rumput laut, dan lainnya.
Daratan Indonesia juga diberkahi dengan iklim tropis yang ditumbuhi komoditi khas seperti, kelapa sawit dan kakao yang merupakan komoditi perkebunan dengan ekspor terbesar di Indonesia sekaligus memiliki beragam produk turunan. Iklim tropis juga menguntungkan penanaman padi yang merupakan sumber pangan pokok. Namun kita tidak menutup mata akan perubahan iklim yang berimbas pada produksi padi.
Penelitian Ruminta (2016) menunjukkan bahwa perubahan iklim perlu disikapi dengan bijak sebab pada studi kasus di kabupaten Bandung telah terjadi pergeseran waktu panen, perubahan produktivitas dan produksi padi. Disisi lain Indonesia memiliki alternatif sumber energi bagi tubuh misalnya singkong, sagu, ganyong, dan lain sebagainya. Namun pola pikir “belum kenyang jika belum makan nasi” seolah menjadi pembatas bahwa sumber energi memang hanyalah dari beras. Pola pikir tersebut perlu diubah melalui edukasi serta aplikasi nyata secara bertahap dan konsisten agar setiap daerah mencintai dan menikmati pangan lokalnya.
Poin kedua adalah memahami manfaat pangan yang dikonsumsi, bukan sekedar telan. Salah satu poin penting dari definisi ketahanan pangan yang termaktub dalam UU Pangan adalah tercapainya masyarakat produktif. Pangan diharapkan tak hanya menjadi energi tapi berkontribusi terhadap kesehatan jangka panjang. Pangan ideal adalah yang beragam, bergizi, seimbang, aman, dan halal. Oleh karenanya edukasi menjadi penting digalakkan sembari dibarengi dengan kesadaran untuk membiasakan pola makan sehat yang dimulai dari lingkup keluarga.
Poin ketiga adalah menyelaraskan kemampuan bangsa dengan perkembangan teknologi yang menjadi ciri revolusi industri 4.0. Hasil-hasil pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan lokal memiliki potensi besar untuk dieksplorasi dengan sentuhan teknologi agar dapat bersaing tanpa menggadaikan keamanan dan nutrisinya.
Generasi muda berperan besar memajukan potensi bangsa dengan kondisi lahan yang semakin terbatas misalnya dengan menjadi petani digital berbekalkan sains, keterampilan, serta inovasi yang dimiliki, sehingga kedepannya diharapkan mampu membuka lebih banyak lapangan kerja berbasis pangan lokal berkelanjutan. Sentuhan inovasi diperlukan sejak pra tanam hingga pangan siap dikonsumsi, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi lahan dan keterjangkauan baik harga maupun aksesnya yang kerap menjadi keterbatasan.
Pada akhirnya ketiga poin di atas menjadi catatan penting untuk mempersiapkan eksistensi pangan di era digital yang tak henti digaungkan. Kolaborasi beragam bidang ilmu, pemerintah, serta industri sangat diperlukan guna merintis ketahanan pangan, sebab eksistensi Indonesia dipertaruhkan dari persiapan kita hari ini. Berbekal potensi ibu pertiwi, semoga Indonesia tak lagi tergilas menghadapi era “serba digital” ini. Semoga saja. (*)
Ditulis oleh Rizki Aristyarini
Tulisan ini telah dipublish pada tanggal 1 Desember 2018 pada laman resmi
klik -> http://fajaronline.co.id/read/63625/eksistensi-ketahanan-pangan-di-era-industri-4-0
semoga berfaedah :)

You May Also Like

0 komentar

Blog Archive

Entri yang Diunggulkan

Ibrah: Orang-orang Pergi. Apakah Mereka Kembali?

Bismillah. Kepergian itu sulit. Tapi, kehilangan lebih sulit lagi. Mengapa orang-orang harus saling meninggalkan? Jawabannya membawa saya...

Nobody's perfect

Pengikut