Terlalu Sepele Tapi Sarat Makna
Akhir-akhir
ini saya sering memperoleh pengajaran kehidupan. Beberapa diantaranya adalah
pentingnya adab seorang muslim sebelum ilmu, pentingnya kepercayaan yang Allah
berikan, pentingnya untuk menjaga lisan. Segala peristiwa yang terjadi seolah
mengajar saya bahwa jikalau orang melakukan hal buruk terhadap saya (perihal
ketiga hal tersebut) maka saya harus belajar untuk membalasnya dengan kebaikan.
Sebab Allah Maha Pemaaf, Allah Maha Penyantun
Betapa
pentingnya adab-adab seorang muslim namun hal ini kerap kali disepelekan.
Contoh yang paling nyata adalah adab untuk meminjam barang. Ketika kita sudah
merasa cukup akrab dengan seseorang maka tak jarang perasaan memiliki atau tidak apa-apa saya memakainya turut
menggelayuti, padahal kita belum meminta izin sama orang yang punya barang
alias belum diizinkan. Sepele tapi
sarat akan makna. Tanggungjawab untuk menjaga barang titipan adalah sebuah
amanah dari saudara kita. Namun tak sedikit orang yang meremehkan hal ini. Saat kita
ingin mengambilnya kembali maka tak kadang barang yang dititipkan itu
berpindah-pindah tangan, tanpa memahami bahwa pemiliknya sedang sangat membutuhkan. Hingga saat barang itu rusak atau
tidak lagi utuh seperti sedia kala, entah siapa yang harus bertanggungjawab.
Hal paling bahaya adalah ketika kita merasa biasa saja atau tidak peduli. Ketika merasakan hal
ini, saya belajar bahwa saya tidak boleh melakukan hal ini kepada orang lain.
Integritas kita sebagai kawan pun bisa jadi bahan taruhan.
credit to owner, credit to Dainty Hooligan's pinterest
Aku
pun lalu teringat tentang utang piutang. Tak sedikit mungkin orang yang pernah
meminjam sejumlah uang kepada kita, dari nominal yang sedikit hinga sampai
mendekati jutaan rupiah. Hutang artinya harus dikembalikan. Namun aku tidak
bisa memahami tentang sifat apatis
atau menunda-nunda atau menghindar atau merasa cukup untuk membayar dengan jumlah yang lebih kecil dari orang yang
kita tolong. Meski demikian hati selalu berusaha untuk menguasai diri untuk
memberi mereka keringanan, untuk senantiasa berhusnudzon kepada Allah bahwa ada ini ada hikmahnya, berhusnudzon kepada saudara kita bahwa mungkin mereka lupa.. mungkin mereka sedang kesulitan
dan butuh waktu lebih lama... atau mungkin mereka benar-benar lupa. Tak sedikit
orang yang malas menagih, aku kadang seperti ini hingga pada akhirnya memilih
belajar mengikhlaskan padahal punya hak untuk menagih. Tapi semua itu
pilihan setiap orang. Aku hanya teringat tentang nasib mereka yang meninggal
dengan utang, sebab ini perkara hablumminannaas
maka perkara utang ini tidak akan terputus walau kita sudah meninggal. Aku
pernah membaca hadist, namun lupa persis detilnya seperti apa dan siapa perawi
atau yang menshahihkannya.
Hukumannya adalah Ruh kita bagai digantung antara langit dan bumi. Menyedihkan
sekali. Saya mungkin jarang atau tak pernah menagih atau mengingatkan sebab
bagiku kesadaran jauh lebih penting. Pada akhirnya membentuk saya menjadi
pribadi untuk tidak mudah percaya kepada orang lain jika sudah tentang uang.
Baik dia awam, ataupun orang berilmu. Baik dia berhijab syar’i ataupun
tidak berhijab. Sebab iman itu naik
turun :’’) Tentu pada pengecualian tertentu. Bersyukurlah jika pada akhirnya
mereka yang kau tolong mau atau berinisiatif membayarnya, apresiasilah, hargailah, jemput inisiatifnya dengan banyak prasangka-prasangka baik, doakanlah, karena ketahuilah itu sesuatu yang sangat lagka hari ini. Namun
percayalah dari serangkaian kejadian utang piutang ini, aku tidak marah, aku hanya sempat sedih, dan mencoba mengubur pertanyaan dalam hati.. mengapa mereka tidak mau menjelaskan mengapa mengapanya? Namun ketika
ku ingat lagi ini tentang dunia, tentang titipan, jika ku ingat lagi
persaudaraan atau pertemanan yang bobotnya jauh lebih penting, maka aku belajar
untuk mengikhlaskan yang sudah terjadi dan mencoba untuk lebih ketat lagi ke depannya. Aku hanya
berharap Allah kelak menggantinya dengan yang lebih baik di dunia dan di
akhirat, dan memberikan kesadaran bagi mereka yang ku tolong agar cukup aku
jadi orang terakhir yang merasakan kepahitan itu.
Tentang
kepercayaan Allah. Segala yang Allah anugerahkan pada dasarnya adalah titipan, semuanya milik Allah sehingga kapanpun Allah berkehendak untuk
mengambilnya maka tidak ada hak bagi kita untuk marah ataupun ngambek tidak
karuan. Menyadari basic ini akan
membuka pikiran kita untuk tidak terlalu bersedih ketika perkara dunia
mengecewakan kita, sekaligus menjadi pelajaran berharga untuk lebih menghargai
pemberian Allah. Merenungi bahwa tidak semua orang dianugerahkan barang seperti
yang kita miliki sehingga penting untuk menjaganya baik-baik. Namun begitulah
manusia, terkadang baru bisa mengambil pelajaran ketika ditimpa musibah.
Cukuplah Allah sebaik-baik pemberi rezeki.
Dan
yang terakhir adalah tentang lisan. Ketika para wanita berkumpul (cowok juga
kah?) maka tidak menutup kemungkinan bahwa menceritakan
aib-kekurangan orang lain menjadi hal yang tidak terlewatkan dalam sebuah majelis ghibah, rasanya
pembicaraan seperti kekurangan garam
kalo ga menggosipkan orang lain yang pada akhirnya mengantarkan kita pada
perkara ghibah. Perilaku ini sudah
dipaparkan oleh Rasulullah bahwa perumpamaannya seperti memakan bangkai saudara
sendiri. Meski demikian, tidak sedikit orang yang masih melakukannya. Mungkin
khilaf (semoga saja). Ghibah itu seperti membicarakan hal-hal terkait saudari
kita yang saudari kita itu tidak suka kalo itu dibicarakan. Jika yang
dibicarakan itu benar maka terjatuh pada ghibah, Jika yang dibicarakan itu
salah maka terjatuh pada fitnah. Kadang kita baru merasakan tidak enaknya
ketika tanpa sengaja mendengar orang lain membicarakan atau menertawakan
tentang aib kita. Seharusnya kita senang karena pahala mereka akan beralih pada
kita, kita pun bisa menuntutnya di akhirat kelak. Dan jika pahalanya udah habis kita ambil, maka dosa kita yang dikirimkan kepadanya. Kita pun jadi punya pilihan untuk menyibukkan
diri untuk hal-hal yang positif daripada meladeni hal negatif yang akan Allah bayar kontan di dunia dan di akhirat. Manis
sekali. sekaligus Ironis. Tapi begitulah Allah Sang Maha Adil. Mereka yang
doyan mengghibahi maka bersiaplah suatu saat dighibahi sebab Allah selalu
menunaikan hak-hak setiap hamba-Nya secara sempurna dan hal terpenting adalah
orang lain pun punya lidah. Oleh sebab itu kita wajib waspada jika seseorang
menceritakan aib orang lain kepada kita, tidak menutup kemungkinan bahwa dia
akan menceritakan aib kita kepada orang lain, bukan? Begitulah lidah, jika dipergunakan untuk hal-hal yang baik makan
beruntunglah pemiliknya, begitupun sebaliknya. Orang yang berperawakan kecil
jika lisannya tajam maka bisa mengadu domba dua orang. Begitulah ustad
Khalid Basalamah pernah menyampaikan dalam salah satu kesempatan dalam kajian
rutinnya.
Semua
ini menjadi pelajaran yang teramat berharga. Sangat berharga, yang kadang
membuat kita sering menutup mata. Maha Suci Allah atas skenario yang
dituliskanNya untuk kita, yang semuanya adalah baik ketika mampu bersabar dan
bersyukur. Semoga menjadikan kita pribadi yang mampu mengambil hikmah dari
setiap peristiwa, mengasah sifat pemaaf kita, mengasah sifat husnudzon kita
kepada Allah dan saudara kita, mengasah tauhid atau syahadat kita tentang sifat
Allah yang Maha Melihat dan Maha mendengar. Perlu aku dan kita untuk selalu ingat
bahwa Allah Maha Melihat, dan Malaikat
Tak Lengah Mencatat. Semoga kita bisa istiqamah untuk menjauhi seluruh
perkara sepele namun terjatuh pada dosa dan kezhaliman ini, semoga kelak kita
bisa berdiri di pengadilan Allah dengan pahala serta catatan amal yang
memperberat timbangan amal kebaikan kita, aamiin.
0 komentar