Terlalu Sepele Tapi Sarat Makna

by - 10:54 PM

Akhir-akhir ini saya sering memperoleh pengajaran kehidupan. Beberapa diantaranya adalah pentingnya adab seorang muslim sebelum ilmu, pentingnya kepercayaan yang Allah berikan, pentingnya untuk menjaga lisan. Segala peristiwa yang terjadi seolah mengajar saya bahwa jikalau orang melakukan hal buruk terhadap saya (perihal ketiga hal tersebut) maka saya harus belajar untuk membalasnya dengan kebaikan. Sebab Allah Maha Pemaaf, Allah Maha Penyantun
Betapa pentingnya adab-adab seorang muslim namun hal ini kerap kali disepelekan. Contoh yang paling nyata adalah adab untuk meminjam barang. Ketika kita sudah merasa cukup akrab dengan seseorang maka tak jarang perasaan memiliki atau tidak apa-apa saya memakainya  turut menggelayuti, padahal kita belum meminta izin sama orang yang punya barang alias belum diizinkan. Sepele tapi sarat akan makna. Tanggungjawab untuk menjaga barang titipan adalah sebuah amanah dari saudara kita. Namun tak sedikit orang yang meremehkan hal ini. Saat kita ingin mengambilnya kembali maka tak kadang barang yang dititipkan itu berpindah-pindah tangan, tanpa memahami bahwa pemiliknya sedang sangat membutuhkan. Hingga saat barang itu rusak atau tidak lagi utuh seperti sedia kala, entah siapa yang harus bertanggungjawab. Hal paling bahaya adalah ketika kita merasa biasa saja atau tidak peduli. Ketika merasakan hal ini, saya belajar bahwa saya tidak boleh melakukan hal ini kepada orang lain. Integritas kita sebagai kawan pun bisa jadi bahan taruhan.

credit to owner, credit to Dainty Hooligan's pinterest

Aku pun lalu teringat tentang utang piutang. Tak sedikit mungkin orang yang pernah meminjam sejumlah uang kepada kita, dari nominal yang sedikit hinga sampai mendekati jutaan rupiah. Hutang artinya harus dikembalikan. Namun aku tidak bisa memahami tentang sifat apatis atau menunda-nunda atau menghindar atau merasa cukup untuk membayar dengan jumlah yang lebih kecil dari orang yang kita tolong. Meski demikian hati selalu berusaha untuk menguasai diri untuk memberi mereka keringanan, untuk senantiasa berhusnudzon kepada Allah bahwa ada ini ada hikmahnya, berhusnudzon kepada saudara kita bahwa mungkin mereka lupa.. mungkin mereka sedang kesulitan dan butuh waktu lebih lama... atau mungkin mereka benar-benar lupa. Tak sedikit orang yang malas menagih, aku kadang seperti ini hingga pada akhirnya memilih belajar mengikhlaskan padahal punya hak untuk menagih. Tapi semua itu pilihan setiap orang. Aku hanya teringat tentang nasib mereka yang meninggal dengan utang, sebab ini perkara hablumminannaas maka perkara utang ini tidak akan terputus walau kita sudah meninggal. Aku pernah membaca hadist, namun lupa persis detilnya seperti apa dan siapa perawi atau yang menshahihkannya. Hukumannya adalah Ruh kita bagai digantung antara langit dan bumi. Menyedihkan sekali. Saya mungkin jarang atau tak pernah menagih atau mengingatkan sebab bagiku kesadaran jauh lebih penting. Pada akhirnya membentuk saya menjadi pribadi untuk tidak mudah percaya kepada orang lain jika sudah tentang uang. Baik dia awam, ataupun orang berilmu. Baik dia berhijab syar’i ataupun tidak berhijab. Sebab iman itu naik turun :’’) Tentu pada pengecualian tertentu. Bersyukurlah jika pada akhirnya mereka yang kau tolong mau atau berinisiatif membayarnya, apresiasilah, hargailah, jemput inisiatifnya dengan banyak prasangka-prasangka baik, doakanlah, karena ketahuilah itu sesuatu yang sangat lagka hari ini. Namun percayalah dari serangkaian kejadian utang piutang ini, aku tidak marah, aku hanya sempat sedih, dan mencoba mengubur pertanyaan dalam hati.. mengapa mereka tidak mau menjelaskan mengapa mengapanya?  Namun ketika ku ingat lagi ini tentang dunia, tentang titipan, jika ku ingat lagi persaudaraan atau pertemanan yang bobotnya jauh lebih penting, maka aku belajar untuk mengikhlaskan yang sudah terjadi dan mencoba untuk lebih ketat lagi ke depannya. Aku hanya berharap Allah kelak menggantinya dengan yang lebih baik di dunia dan di akhirat, dan memberikan kesadaran bagi mereka yang ku tolong agar cukup aku jadi orang terakhir yang merasakan kepahitan itu.
Tentang kepercayaan Allah. Segala yang Allah anugerahkan pada dasarnya adalah titipan, semuanya milik Allah sehingga kapanpun Allah berkehendak untuk mengambilnya maka tidak ada hak bagi kita untuk marah ataupun ngambek tidak karuan. Menyadari basic ini akan membuka pikiran kita untuk tidak terlalu bersedih ketika perkara dunia mengecewakan kita, sekaligus menjadi pelajaran berharga untuk lebih menghargai pemberian Allah. Merenungi bahwa tidak semua orang dianugerahkan barang seperti yang kita miliki sehingga penting untuk menjaganya baik-baik. Namun begitulah manusia, terkadang baru bisa mengambil pelajaran ketika ditimpa musibah. Cukuplah Allah sebaik-baik pemberi rezeki.
Dan yang terakhir adalah tentang lisan. Ketika para wanita berkumpul (cowok juga kah?) maka tidak menutup kemungkinan bahwa menceritakan aib-kekurangan orang lain menjadi hal yang tidak terlewatkan  dalam sebuah majelis ghibah, rasanya pembicaraan seperti kekurangan garam kalo ga menggosipkan orang lain yang pada akhirnya mengantarkan kita pada perkara ghibah. Perilaku ini sudah dipaparkan oleh Rasulullah bahwa perumpamaannya seperti memakan bangkai saudara sendiri. Meski demikian, tidak sedikit orang yang masih melakukannya. Mungkin khilaf (semoga saja). Ghibah itu seperti membicarakan hal-hal terkait saudari kita yang saudari kita itu tidak suka kalo itu dibicarakan. Jika yang dibicarakan itu benar maka terjatuh pada ghibah, Jika yang dibicarakan itu salah maka terjatuh pada fitnah. Kadang kita baru merasakan tidak enaknya ketika tanpa sengaja mendengar orang lain membicarakan atau menertawakan tentang aib kita. Seharusnya kita senang karena pahala mereka akan beralih pada kita, kita pun bisa menuntutnya di akhirat kelak. Dan jika pahalanya udah habis kita ambil, maka dosa kita yang dikirimkan kepadanya. Kita pun jadi punya pilihan untuk menyibukkan diri untuk hal-hal yang positif daripada meladeni hal negatif yang akan Allah bayar kontan di dunia dan di akhirat. Manis sekali. sekaligus Ironis. Tapi begitulah Allah Sang Maha Adil. Mereka yang doyan mengghibahi maka bersiaplah suatu saat dighibahi sebab Allah selalu menunaikan hak-hak setiap hamba-Nya secara sempurna dan hal terpenting adalah orang lain pun punya lidah. Oleh sebab itu kita wajib waspada jika seseorang menceritakan aib orang lain kepada kita, tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan menceritakan aib kita kepada orang lain, bukan? Begitulah lidah, jika dipergunakan untuk hal-hal yang baik makan beruntunglah pemiliknya, begitupun sebaliknya. Orang yang berperawakan kecil jika lisannya tajam maka bisa mengadu domba dua orang. Begitulah ustad Khalid Basalamah pernah menyampaikan dalam salah satu kesempatan dalam kajian rutinnya.
Semua ini menjadi pelajaran yang teramat berharga. Sangat berharga, yang kadang membuat kita sering menutup mata. Maha Suci Allah atas skenario yang dituliskanNya untuk kita, yang semuanya adalah baik ketika mampu bersabar dan bersyukur. Semoga menjadikan kita pribadi yang mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa, mengasah sifat pemaaf kita, mengasah sifat husnudzon kita kepada Allah dan saudara kita, mengasah tauhid atau syahadat kita tentang sifat Allah yang Maha Melihat dan Maha mendengar. Perlu aku dan kita untuk selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat, dan Malaikat Tak Lengah Mencatat. Semoga kita bisa istiqamah untuk menjauhi seluruh perkara sepele namun terjatuh pada dosa dan kezhaliman ini, semoga kelak kita bisa berdiri di pengadilan Allah dengan pahala serta catatan amal yang memperberat timbangan amal kebaikan kita, aamiin.

Saling mengingatkan ya, sebab keimanan itu naik turun. ya muqollibul quluuub, tsabbit qolbi ‘alaa diniik.

You May Also Like

0 komentar

Entri yang Diunggulkan

Ibrah: Orang-orang Pergi. Apakah Mereka Kembali?

Bismillah. Kepergian itu sulit. Tapi, kehilangan lebih sulit lagi. Mengapa orang-orang harus saling meninggalkan? Jawabannya membawa saya...

Nobody's perfect

Pengikut